July 16, 2025

INCA BERITA

Berita Terkini Seputar Peristiwa Penting di Indonesia dan Dunia

Viral Guru Tendang Murid: Antara Emosi, Etika, dan Luka

Geger! Seorang Guru Tendang Murid Karna Geram, Berikut Kronologinya!!!

Guru Tendang Murid, beberapa hari lalu sebuah video berdurasi 27 detik menyebar di media sosial. Isinya bikin dada sesak: Guru Tendang Murid di dalam kelas, disaksikan oleh teman-teman sebaya yang hanya bisa terdiam.

Video itu cepat sekali viral. Di TikTok, diunggah ulang lebih dari 20 ribu kali di Twitter (X) tagar #GuruTendangMurid langsung trending selama dua hari penuh. Di grup WA wali murid, diskusinya bahkan lebih panas dari info jadwal vaksin.

Reaksi publik? Campur aduk.

“Zaman dulu mah biasa kayak gitu.”
“Sekarang murid makin kurang ajar, guru jadi ikut lepas kendali.”
“Apa pun alasannya, menendang anak itu gak bisa dibenarkan.”

Sebagai pembawa berita dan content writer yang udah belasan tahun mengamati dunia pendidikan, saya ngerasa… ini bukan cuma soal satu guru dan satu murid. Ini soal sistem yang luka—dan belum sembuh sejak lama.

Geger Video Seorang Guru Tendang Murid Fakta di Balik Video, Berikut Kronologinya!!!

Video tersebut memperlihatkan seorang guru SMP di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, yang berdiri di atas meja dan menendang kepala seorang murid saat ujian berlangsung. Insiden ini terjadi pada 10 Juni 2025 dan menjadi viral di media sosial. Kejadian bermula ketika guru tersebut mendengar suara siulan yang mengganggu jalannya ujian. Setelah tidak menemukan sumber suara, guru tersebut diduga emosi dan melakukan tindakan kekerasan terhadap murid yang berada di depannya.

Setelah video tersebut menyebar luas, pihak kepolisian turun tangan dan melakukan pemeriksaan terhadap guru yang bersangkutan. Namun, kasus ini berakhir damai setelah dilakukan mediasi antara guru dan keluarga murid. Kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan, dan guru tersebut telah meminta maaf serta menyatakan penyesalan atas perbuatannya.

Meskipun proses hukum dihentikan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Demak menyatakan akan memberikan sanksi administratif sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk menjaga disiplin dan profesionalisme tenaga pendidik.

Sebelum kita larut dalam komentar dan asumsi, mari kita kumpulkan dulu fakta yang sudah terverifikasi (setidaknya sampai artikel ini ditulis):

  1. Lokasi kejadian: Salah satu SMP Negeri di Jawa Timur.

  2. Kronologi: Berdasarkan keterangan awal, guru tersebut menegur murid karena bercanda berlebihan saat pelajaran berlangsung. Sang murid dianggap membantah, lalu insiden fisik terjadi.

  3. Rekaman video: Diambil diam-diam oleh salah satu teman sekelas, lalu tersebar di media sosial tanpa izin.

  4. Respon sekolah: Kepala sekolah sudah mengonfirmasi kejadian. Guru langsung dibebastugaskan sementara.

  5. Pihak keluarga murid: Mengaku syok. Sang anak mengalami trauma ringan, sudah dibawa ke psikolog.

  6. Guru bersangkutan: Mengakui kesalahan, menyampaikan permintaan maaf secara terbuka, dan menjelaskan bahwa tindakannya dilatarbelakangi oleh kelelahan dan tekanan mental.

Apa pun motifnya, satu hal sudah pasti: kontrol diri gagal. Dan akibatnya bukan hanya satu murid yang menderita, tapi kepercayaan publik terhadap sekolah juga ikut tercabik.

Guru Bukan Malaikat, Tapi Juga Bukan Musuh: Mengenali Tekanan Dunia Pendidikan Kita

Sebagai orang luar, mudah banget menilai. Tapi mari kita mundur sebentar dan coba pahami: kenapa seorang guru—yang seharusnya jadi figur pengayom—bisa kehilangan kendali?

Tekanan dalam Dunia Mengajar:

  • Rasio guru-murid yang timpang
    Banyak sekolah, terutama negeri, memiliki jumlah murid 35–40 siswa per kelas. Bayangkan harus mengelola 40 karakter dengan satu suara?

  • Tuntutan administratif non-stop
    Dari laporan harian, portofolio kurikulum, input data ke Dapodik, hingga akreditasi. Waktu guru tersedot habis—bahkan sebelum sempat menyusun metode mengajar kreatif.

  • Stigma sosial terhadap profesi guru
    Di satu sisi dianggap ‘pahlawan tanpa tanda jasa’. Di sisi lain, digaji pas-pasan, dikritik habis-habisan saat ada kesalahan.

  • Kelelahan emosional
    Tidak semua guru mendapat pelatihan pengelolaan stres atau anger management. Dan dunia sekolah belum sepenuhnya sadar pentingnya wellbeing tenaga pengajar.

Tapi tentu, memahami bukan berarti membenarkan.
Kekerasan tetap kekerasan. Dan sekolah harus jadi zona aman, bukan zona trauma.

Refleksi dari Sisi Murid: Saat Suara Anak Mulai Diabaikan Sistem

Kasus guru tendang murid bukan hanya tentang guru yang gagal menahan emosi. Ini juga soal murid yang tidak merasa aman untuk bersuara.

Apa yang sering terjadi?

  • Ketakutan melapor
    Banyak murid takut dicap “nakal” atau “suka melawan”. Jadi mereka diam, bahkan setelah disakiti.

  • Minimnya sistem perlindungan anak di sekolah
    Ada sekolah yang belum punya unit bimbingan konseling aktif, apalagi protokol anti-kekerasan yang jelas.

  • Budaya “diam itu emas”
    Masih banyak lingkungan pendidikan yang menganggap siswa harus tunduk tanpa kritik. Saat murid membantah, meski dengan argumen, dianggap tidak sopan.

Padahal, anak-anak zaman sekarang itu pintar, kritis, dan tahu haknya. Mereka baca internet, lihat berita, dan tahu kapan sedang diperlakukan tidak adil.

Jadi jangan heran kalau mereka mulai memvideokan kejadian. Mungkin karena satu-satunya cara ‘melapor’ yang mereka punya… ya hanya lewat rekaman.

Jalan Tengah Itu Ada: Solusi Nyata dan Harapan untuk Dunia Pendidikan yang Lebih Beradab

Guru Tendang Murid

Image Source: NKRI  NEWS 45

Setiap kejadian viral adalah alarm. Dan kita bisa memilih: cuek, debat, atau… berbenah.

Apa yang bisa kita lakukan?

1. Sekolah wajib punya SOP Anti-Kekerasan yang konkret

Bukan hanya nempel di dinding, tapi dipahami semua pihak—guru, murid, orang tua. Harus ada sistem aduan, proses mediasi, dan sanksi yang jelas.

2. Pelatihan manajemen emosi untuk guru

Setiap tahun ajaran, guru juga butuh ‘belajar lagi’. Termasuk bagaimana menghadapi anak zaman digital yang kadang lebih cerdas dari sistemnya.

3. Kelas edukasi hak anak & etika berinteraksi

Murid juga harus tahu: mereka punya hak, tapi juga tanggung jawab. Hormat bukan berarti takut. Diskusi bukan berarti melawan.

4. Libatkan psikolog pendidikan di sekolah

Setiap sekolah idealnya punya konselor yang bisa menjadi tempat aman bagi anak dan guru untuk ‘curhat secara profesional’.

5. Kita, orang dewasa, perlu berhenti membandingkan zaman

Kalimat “Zaman dulu mah biasa dicubit guru” adalah pembenaran toxic yang menormalisasi kekerasan. Mari kita buka lembaran baru.

Penutup: Ini Bukan Hanya Soal Tendangan, Tapi Tentang Arah Pendidikan Kita ke Depan

Kasus guru tendang murid mungkin hanya satu dari sekian insiden serupa. Tapi kalau terus terjadi dan dibiarkan, anak-anak kita akan tumbuh dengan luka—bukan pelajaran.

Dan kita, sebagai orang dewasa, punya tanggung jawab besar untuk memastikan sekolah kembali jadi rumah yang aman, bukan medan tekanan.

Pendidikan bukan soal hafalan, tapi soal bagaimana kita memperlakukan satu sama lain sebagai manusia.

Baca Juga Artikel dari: FlightRadar24 Rekam 8 Menit Terkahir Air India, Sedih!

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal

Author

Copyright @ 2025 Incaberita. All right reserved