Kontroversi Ustaz Khalid Basalamah: Ceramah, Potongan Video

Jakarta, incaberita.co.id – Minggu pagi itu, linimasa X (dulu Twitter) mendadak ramai. Video berdurasi kurang dari dua menit beredar luas—menampilkan sosok Ustaz Khalid Basalamah, sedang menyampaikan ceramah dengan nada serius. Potongannya menimbulkan pro dan kontra. “Ini memecah belah,” kata satu netizen. “Jangan suudzon, nonton full-nya dulu dong,” balas yang lain.
Dari situlah benang mulai kusut. Ceramah lama kembali diangkat, dikemas dalam potongan pendek, lalu menjadi viral di era platform serba instan. Kali ini, yang jadi sasaran adalah Ustaz Khalid—sosok da’i yang dikenal dengan gaya ceramah tenang dan lugas, serta identik dengan kajian berbasis manhaj salaf.
Tapi, bagaimana duduk persoalan sebenarnya? Artikel ini mengajak kamu menyelami lebih dalam.
Image Source: Viva.co.id
Sebelum bicara soal viral, mari kita kenali siapa tokoh ini.
Ustaz Khalid Basalamah, lahir di Makassar, dikenal sebagai dai yang kerap menyampaikan ceramah berbasis pemurnian ajaran Islam (tauhid) dengan pendekatan rujukan langsung ke Al-Qur’an dan Hadis Shahih. Ia lulusan Madinah, dan sering membahas persoalan fikih, aqidah, hingga problematika umat kekinian.
Dengan ciri khas penampilan jenggot rapi, suara lembut namun tegas, ia membangun basis jamaah lewat media sosial—YouTube, Instagram, TikTok, hingga Telegram. Ia juga mendirikan yayasan dakwah dan aktif dalam kegiatan sosial kemanusiaan.
Namun seiring popularitasnya yang melejit, tak jarang ceramah-ceramah beliau disalahpahami atau dipotong konteksnya.
Konten yang memicu perdebatan belakangan ini sebenarnya adalah video lama. Dalam potongan tersebut, terlihat Khalid Basalamah menyampaikan pandangannya tentang suatu praktik budaya yang dianggap bertentangan dengan syariat.
Sayangnya, video itu hanya menunjukkan bagian tengah hingga akhir pernyataan—tanpa intro, tanpa dalil yang mendasari, dan tentu saja tanpa penjelasan bahwa itu adalah bagian dari tanya-jawab.
Efeknya? Seperti biasa: viral. Muncul headline clickbait, analisis sepihak, hingga tuntutan pelarangan ceramah di beberapa daerah. Bahkan, menurut laporan CNN Indonesia (yang sayangnya tidak bisa kami tampilkan langsung), sempat ada klarifikasi dari beliau bahwa isi ceramah tersebut sudah dipotong-potong dan keluar konteks.
Hal ini bukan pertama kalinya terjadi. Beberapa ustaz, termasuk tokoh moderat maupun konservatif, pernah mengalami hal serupa. Media sosial memang mempercepat penyebaran informasi, tapi juga rentan terhadap manipulasi persepsi.
Menariknya, respons masyarakat terbelah. Ada yang langsung percaya isi video tanpa konfirmasi, ada yang menelusuri versi lengkap, ada pula yang menyerukan perlunya edukasi digital dalam konsumsi konten keagamaan.
Kanal YouTube resmi Ustaz Khalid Basalamah akhirnya mengunggah versi utuh ceramah tersebut, disertai catatan dan ajakan untuk tabayyun (verifikasi). Tim pengelola juga aktif menjawab komentar dan menyaring disinformasi.
Beberapa ustaz lain, baik dari kalangan NU maupun Muhammadiyah, turut mengimbau publik agar tidak mudah terprovokasi. Dakwah bukan ajang sensasi, dan konten agama harus disampaikan secara utuh.
Terdapat kabar (yang belum bisa dikonfirmasi) bahwa sejumlah pemerintah daerah membatalkan jadwal ceramah Khalid Basalamah, dengan alasan keamanan dan potensi keresahan. Namun, banyak ormas yang justru menilai keputusan ini terburu-buru dan kurang adil.
Kita hidup di zaman di mana dakwah tidak lagi terbatas pada mimbar masjid. Satu video bisa ditonton jutaan orang dalam hitungan jam. Tapi tantangannya juga tak main-main.
Platform seperti YouTube dan TikTok bekerja berdasarkan engagement. Potongan ceramah kontroversial justru cenderung mendapatkan views tinggi. Ini menimbulkan dilema antara “menyampaikan kebenaran” vs “mengejar viralitas”.
Sayangnya, kadang akun-akun tidak resmi memotong ceramah lalu memberi judul provokatif. Bukan atas nama dakwah, tapi demi monetisasi.
Alih-alih memperluas pemahaman, potongan ceramah bisa memicu polarisasi: antara konservatif vs moderat, antara salafi vs tradisionalis, antara netizen waras dan netizen impulsif.
Ini poin krusial. Umat harus diajak belajar cara menyimak ceramah: pahami konteks, dalami isi, dan jangan cuma viral karena satu kalimat.
Kontroversi ini bukan sekadar tentang satu tokoh, tapi tentang kita semua sebagai umat digital.
Pastikan setiap ceramah punya penjelasan lengkap
Jaga komunikasi di luar mimbar (media sosial, interaksi publik)
Tegaskan bahwa dakwah adalah ajakan, bukan pemaksaan
Jangan buru-buru mengangkat potongan video jadi headline
Hormati keberimbangan narasi dan hak jawab
Tahan diri dari clickbait yang memecah belah
Jangan langsung percaya video tanpa sumber
Tabayyun: cari klarifikasi dari sumber resmi
Bedakan antara ceramah opini dan fatwa resmi
Ustaz Khalid Basalamah hanyalah satu contoh dari fenomena lebih besar: bagaimana agama, media, dan teknologi saling bersinggungan. Di tengah gempuran potongan video, kita butuh bukan hanya iman, tapi juga akal sehat dan etika digital.
Agama itu menenangkan, bukan menegangkan. Ceramah itu mencerahkan, bukan menghasut. Dan dakwah itu membangun jembatan, bukan tembok.
Jika kamu ingin diskusi ini dijadikan infografik edukatif, konten TikTok yang bijak, atau bahkan naskah podcast, saya siap bantu. Karena seperti yang dibilang salah satu netizen, “Yang viral belum tentu benar, yang tenang belum tentu salah.”
Baca Juga Artikel dari: Jakarta International Marathon 2025 Menuju Kota Global
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal