August 14, 2025

INCA BERITA

Berita Terkini Seputar Peristiwa Penting di Indonesia dan Dunia

Luka yang Tak Terucapkan: Tragedi Pemerkosaan Massal 1998

Kisah Pilu "Tragedi Pemerkosaan Massal" Masa Penjarahan 1998

Jakarta, incaberita.co.id – Dalam sejarah panjang Indonesia, Mei 1998 adalah momen kritis yang mengubah arah bangsa. Tapi di balik euforia reformasi dan runtuhnya Orde Baru, ada luka gelap yang tak banyak dibicarakan—tragedi pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa yang terjadi di tengah kerusuhan brutal.

Sebagai jurnalis, saya mendengar kisah ini pertama kali dari seorang aktivis HAM. Ia berkata dengan suara bergetar:

“Yang paling menyakitkan bukan cuma karena mereka diperkosa… tapi karena mereka tidak pernah didengar.”

Kalimat itu menghantui saya. Maka dimulailah pencarian ini—untuk mencoba memahami, merekam ulang, dan memberi tempat bagi cerita yang selama ini dipinggirkan.

Mei 1998: Ketika Api Kerusuhan Menyulut Kekerasan Seksual

Image Source: KBR ID News

Kerusuhan besar meledak di Jakarta dan kota-kota besar lainnya pada 13–15 Mei 1998. Awalnya dipicu krisis moneter, harga bahan pokok melonjak, dan ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan Soeharto memuncak.

Tapi di tengah kekacauan itu, sesuatu yang jauh lebih keji terjadi: pemerkosaan sistematis terhadap perempuan Tionghoa.

Data resmi sangat terbatas, bahkan sempat dibantah. Tapi berbagai laporan independen, termasuk dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), memperkirakan setidaknya 85 kasus kekerasan seksual terjadi—sebagian besar dalam bentuk pemerkosaan massal, bahkan disertai penyiksaan.

Modusnya? Penjarahan, penganiayaan, lalu perempuan diambil secara paksa dari rumah atau toko. Beberapa diperkosa di tempat umum, disaksikan keluarganya. Beberapa lainnya diseret, hilang, dan tak pernah kembali.

Satu kasus yang paling mengguncang adalah kisah Liana (nama samaran), yang diperkosa oleh lima orang di depan ibunya. Ibunya, trauma berat, akhirnya meninggal seminggu kemudian. Liana, hingga hari ini, hidup dalam perlindungan rahasia.

Ini bukan sekadar cerita horor. Ini tragedi nyata.

Diamnya Negara dan Jerit yang Tak Sampai

Salah satu ironi terbesar dari tragedi pemerkosaan massal Mei 1998 adalah seberapa sunyinya negara menanggapi.

Awalnya, pemerintah menyangkal. Bahkan ada elite politik yang menyebut peristiwa itu “provokasi asing” atau “isapan jempol”. Ini memperburuk trauma korban. Mereka tak hanya disakiti secara fisik, tapi juga diabaikan secara sistemik.

TGPF yang dibentuk kemudian memang mengakui adanya kekerasan seksual. Tapi laporan lengkapnya tidak pernah dibuka ke publik. Identitas pelaku nyaris tak tersentuh. Tak ada satu pun pelaku yang diadili secara terbuka.

Para korban bahkan takut melapor. Bukan hanya karena trauma, tapi karena takut dikriminalisasi, dirundung, atau malah dianggap aib oleh keluarganya sendiri.

Dalam beberapa kasus, korban dipaksa menikah oleh keluarganya—dengan alasan “menyelamatkan nama baik.” Bahkan ada yang dikirim ke luar negeri untuk “melupakan semuanya”.

Yang menyedihkan? Banyak korban yang sekarang hidup dalam diam. Tak sedikit yang tak tahan dan memilih mengakhiri hidupnya sendiri.

Peran Aktivis, Gereja, dan Organisasi HAM: Melawan Sunyi

Di tengah gelombang diam dan penyangkalan, ada segelintir orang yang bersuara. Mereka adalah aktivis, pendeta, psikolog, dan pengacara HAM yang menolak lupa.

Salah satunya adalah Maria Hartiningsih, jurnalis senior yang menulis banyak tentang isu ini. Ia bilang:

“Menulis tentang kekerasan seksual adalah perlawanan terhadap pelupaan sistematis.”

Selain itu, organisasi seperti KONTRAS, Yayasan Pulih, dan Komnas Perempuan mulai mendokumentasikan testimoni korban secara diam-diam. Mereka menciptakan ruang aman untuk healing, dan juga advokasi ke internasional.

Gereja-gereja juga ambil peran—memberi tempat pengungsian rahasia bagi korban dan keluarganya. Di satu kapel kecil di Jakarta Barat, saya pernah mendengar doa khusus yang dipanjatkan untuk para perempuan yang tak bisa bersuara.

PBB bahkan sempat menekan Indonesia agar mengusut kasus ini dengan serius. Tapi lagi-lagi, upaya itu mentok di dinding kekuasaan dan kepentingan politik.

Luka Kolektif, Sejarah yang Harus Diingat

Tragedi ini bukan cuma menyangkut para korban langsung. Ini adalah luka kolektif bangsa. Luka yang lahir dari rasisme struktural, dari seksisme sistemik, dari impunitas hukum yang terus dipelihara.

Di generasi muda, banyak yang bahkan belum pernah mendengar soal ini. Buku sejarah tidak mencatatnya. Media jarang menayangkannya. Di sekolah, guru enggan menyebutnya.

Tapi kalau kita diam, sejarah akan berulang.

Kini, sekelompok seniman, filmmaker, dan pendidik mulai mencoba membuka kembali percakapan ini. Film dokumenter, pementasan teater, dan karya sastra mulai muncul—dalam usaha memulihkan ingatan kolektif.

Kita perlu menyebut nama tragedinya: tragedi pemerkosaan massal Mei 1998.
Kita perlu ingat para korbannya.
Dan yang paling penting, kita perlu memastikan tidak ada ruang untuk pengulangan.

Penutup: Jangan Pernah Lelah Mengingat

Sebagai jurnalis, saya percaya satu hal: menulis adalah bentuk perlawanan terhadap lupa. Dan untuk kasus ini, kita tak boleh lupa.

Mereka yang jadi korban—perempuan-perempuan tak bersalah yang dihancurkan oleh kebencian dan kekuasaan brutal—layak didengar. Layak ditangisi. Layak diperjuangkan keadilannya.

Tragedi pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 bukanlah noda kecil. Ia adalah darah yang tercecer dalam sejarah kita. Tapi dengan mengingatnya, kita bisa mulai membersihkan luka—bukan dengan penghapusan, tapi dengan keberanian.

Kita tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi kita bisa memutus rantainya, hari ini.

Kalau kamu butuh versi artikel ini dalam bentuk infografis, visual storytelling, podcast script, atau narasi dokumenter—aku siap bantu. Artikel ini bukan hanya konten; ini adalah bentuk solidaritas.

Dan untuk para korban: kalian tidak sendirian. Kami mendengarmu.

Baca Juga Artikel dari: Penembakan Brutal WNA Australia di Bali: 1 Tewas, 3 Ditangkap

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal

Author

Copyright @ 2025 Incaberita. All right reserved