Raperda KTR Ancam Nafas Industri Ekonomi di Jakarta, Pramono Beri Tanggapan!
JAKARTA, incaberita.co.id — Selain memberikan tekanan bagi pelaku usaha, Raperda KTR juga diperkirakan akan mengubah perilaku konsumen yang selama ini menjadi pelanggan tetap hotel dan restoran tertentu. Banyak pengusaha menilai bahwa aturan ketat mengenai area tanpa rokok dapat membuat sebagian pelanggan merasa layanan tidak lagi sesuai kebutuhan mereka.
Konsumen yang biasanya menghabiskan waktu di lounge hotel, bar, atau restoran dengan fasilitas khusus kini harus beradaptasi dengan pembatasan yang ditetapkan. Perubahan pola ini secara langsung mempengaruhi pendapatan operasional, terutama bagi usaha yang menjadikan segmen tersebut sebagai sumber pemasukan utama.
PHRI menekankan bahwa pemahaman terhadap perilaku konsumen penting untuk memastikan regulasi baru tidak menghilangkan daya saing industri pariwisata Jakarta.
Jika Raperda KTR diberlakukan, hotel dan restoran harus melakukan penyesuaian operasional yang tidak sedikit. Mulai dari penataan ulang area, penyediaan ruang alternatif, hingga peningkatan standar kebersihan dan pengawasan internal.
Pelaku usaha juga memerlukan investasi tambahan untuk memastikan kelancaran operasional sesuai regulasi. Bagi usaha kecil dan menengah, biaya penyesuaian tersebut dapat menjadi beban yang cukup berat. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa beberapa usaha kecil mungkin tidak mampu bertahan jika aturan dijalankan tanpa solusi pendamping.
PHRI menegaskan bahwa pelaku usaha memerlukan masa transisi dan dukungan finansial agar implementasi Raperda KTR tidak memicu gelombang penutupan usaha.
Perspektif Pemerintah dan Pentingnya Regulasi Kesehatan
Di sisi lain, pemerintah daerah menilai bahwa Raperda KTR adalah regulasi penting untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Jakarta sebagai kota besar menghadapi tantangan polusi dan kasus penyakit terkait rokok yang cukup tinggi.
Pemerintah menilai bahwa pengaturan area tanpa rokok dapat membantu menciptakan ruang publik yang lebih bersih dan aman bagi seluruh masyarakat. Regulasi ini juga menjadi bagian dari kampanye jangka panjang untuk menekan angka perokok, khususnya di ruang-ruang pelayanan publik.
Namun, pemerintah perlu memastikan bahwa aturan yang disusun tetap berimbang dan tidak mematikan ekosistem usaha yang menjadi penyumbang PAD.
PHRI mengajukan permintaan agar pemerintah membuka sesi dialog terbuka sebelum Raperda KTR disahkan. Melibatkan pelaku usaha dalam penyusunan regulasi dinilai dapat mengurangi potensi konflik dan meningkatkan efektivitas implementasi aturan.
Dengan adanya forum komunikasi dua arah, pelaku usaha dapat memberikan masukan yang relevan tentang kondisi lapangan. Pemerintah pun dapat menyusun aturan yang lebih fleksibel tanpa mengurangi esensi perlindungan kesehatan.
Upaya ini menjadi penting agar Raperda KTR tidak hanya menjadi instrumen pembatasan, melainkan regulasi yang adaptif dan suportif bagi keberlanjutan sektor pariwisata dan jasa.
Aspirasi Pelaku Usaha Terkait Raperda KTR DKI Jakarta
Raperda KTR kembali menjadi sorotan setelah pelaku usaha hotel dan restoran menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap dampak aturan tersebut. Ketua BPD PHRI DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, menegaskan bahwa banyak anggota PHRI yang merasa keberadaan Raperda KTR berpotensi mengurangi aktivitas usaha dan menekan sektor pariwisata Jakarta.
Pelaku usaha menilai aturan ini akan mengurangi fleksibilitas layanan yang selama ini menjadi kekuatan industri perhotelan dan restoran. Mereka meminta agar pemerintah membuka ruang dialog untuk membahas dampak lebih dalam, termasuk potensi penurunan jumlah tamu maupun perubahan perilaku konsumen.

Sumber Gambar : Liputan6.com
Raperda KTR disebut perlu dibahas kembali secara menyeluruh agar tetap melindungi masyarakat tanpa mengorbankan keberlangsungan usaha.
Dalam diskusi terkait Raperda KTR, PHRI menekankan bahwa sektor hotel dan restoran memiliki kontribusi besar terhadap Pendapatan Asli Daerah. Dengan kondisi ekonomi yang masih belum stabil, PHRI berharap ada pemberdayaan dan proteksi terhadap pelaku usaha untuk memastikan industri tetap hidup.
Menurut PHRI, penetapan regulasi baru harus mempertimbangkan situasi usaha yang sedang lesu. Jika tidak, dikhawatirkan aturan baru seperti Raperda KTR akan memperburuk kondisi bisnis yang sudah menghadapi tekanan berat.
Penting bagi pemangku kebijakan untuk melakukan kajian dampak ekonomi sehingga implementasi Raperda KTR tetap berimbang.
Efisiensi Usaha dan Ancaman PHK Massal
PHRI mengungkap fakta bahwa sekitar 70 persen pelaku usaha hotel dan restoran di Jakarta telah melakukan PHK akibat menurunnya aktivitas bisnis. Tekanan datang dari okupansi hotel yang turun drastis serta biaya operasional yang terus meningkat.
Dalam kondisi seperti ini, penerapan Raperda KTR berpotensi menambah beban baru. PHRI menilai aturan tersebut mungkin mendorong lebih banyak usaha melakukan efisiensi ketat. Beberapa hotel bahkan sudah menghentikan proses rekrutmen sementara.
Jika regulasi tidak dikaji ulang, PHRI memperkirakan risiko PHK dapat meningkat, mempengaruhi ribuan pekerja di sektor jasa dan pariwisata.
Agar pembahasan Raperda KTR berjalan objektif dan inklusif, PHRI bersama asosiasi lain mengajukan permohonan perlindungan kepada Pemprov dan DPRD DKI Jakarta. Mereka berharap suara pelaku usaha didengar dan dijadikan pertimbangan.
Raperda KTR diharapkan menjadi kebijakan yang adil bagi masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah.
Tantangan Ekonomi di Balik Pembahasan Raperda KTR
Situasi ekonomi yang melambat membuat sektor pariwisata menjadi salah satu yang paling terdampak. Penurunan kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara menekan pemasukan hotel serta restoran.
Pelaku usaha melihat bahwa Raperda KTR, jika diberlakukan tanpa fleksibilitas, dapat mengurangi daya tarik usaha tertentu yang selama ini menjadi layanan utama bagi tamu. Hal ini penting untuk dikaji karena Jakarta bergantung pada sektor jasa sebagai salah satu penggerak ekonomi.
Regulasi yang sensitif terhadap kondisi ekonomi dapat membantu mencegah penutupan usaha secara massal.
PHRI berharap pemerintah mempertimbangkan keseimbangan antara kesehatan publik dan keberlanjutan usaha. Pelaku usaha meminta agar Raperda KTR disusun dengan pendekatan inklusif, melibatkan berbagai pihak yang terdampak.
Mereka menekankan bahwa tujuan utama adalah menjaga kota tetap sehat tanpa mematikan sektor pelayanan yang memberikan kontribusi besar bagi PAD. Dengan dialog yang konstruktif, regulasi dapat disesuaikan agar tidak hanya berfokus pada pembatasan tetapi juga menciptakan ruang solusi.
Baca juga konten dengan artikel terkait yang membahas tentang lokal
Baca juga artikel menarik lainnya mengenai WHO Respon Bencana Indonesia dan Asia di Tengah Banjir Besar
