Operasi Anti Premanisme 11 Hari: Efektifkah dalam Menekan Kriminalitas Jalanan?

Operasi Anti Premanisme Kriminalitas jalanan telah lama menjadi ancaman nyata bagi rasa aman masyarakat di berbagai kota besar Indonesia. Dari aksi pemalakan hingga intimidasi oleh kelompok preman, kondisi ini tidak hanya merugikan secara ekonomi tetapi juga menurunkan kualitas hidup warga. Untuk menanggulangi masalah ini, Polri meluncurkan Operasi Anti Premanisme selama 11 hari di seluruh wilayah Indonesia. Operasi ini menjadi salah satu langkah besar yang diharapkan mampu membersihkan jalanan dari praktik-praktik premanisme yang meresahkan.
Namun, muncul pertanyaan besar: apakah operasi singkat ini benar-benar efektif dalam menekan tingkat kejahatan jalanan? Apakah operasi semacam ini hanya bersifat temporer, atau dapat menciptakan perubahan jangka panjang dalam tatanan sosial dan keamanan publik?
Artikel ini akan membahas secara menyeluruh tentang pelaksanaan, capaian, serta tantangan dari Operasi Anti Premanisme, serta bagaimana masyarakat dan pakar menilai efektivitasnya.
Latar Belakang Munculnya Operasi Anti Premanisme
Premanisme bukanlah fenomena baru di Indonesia. Aksi pemalakan, pungli, dan intimidasi kerap terjadi di terminal, pasar, pelabuhan, hingga lingkungan permukiman. Dalam beberapa kasus, preman bertindak sebagai “penguasa wilayah” yang menekan warga dan pelaku usaha dengan dalih uang keamanan atau jasa penjagaan.
Fenomena ini sering terjadi secara terselubung, bahkan dalam beberapa kasus melibatkan aktor-aktor tertentu yang sulit disentuh hukum Lokal. Atas dasar itu, Operasi Anti Premanisme digagas sebagai respons cepat terhadap lonjakan laporan masyarakat terkait aktivitas premanisme yang semakin brutal, terutama pasca pandemi ketika tingkat pengangguran dan tekanan ekonomi meningkat.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan bahwa operasi ini merupakan bagian dari strategi jangka pendek untuk menciptakan rasa aman dan nyaman, sekaligus menunjukkan kehadiran negara dalam melindungi rakyat.
Tujuan dan Sasaran Operasi
Dalam pelaksanaannya, Operasi Anti Premanisme memiliki beberapa sasaran utama:
-
Menangkap pelaku pemalakan di tempat umum
-
Memberantas pungutan liar di area transportasi dan logistik
-
Menindak pelaku pemerasan berkedok jasa keamanan
-
Menyasar kelompok-kelompok yang meresahkan masyarakat
-
Membongkar jaringan organisasi yang melindungi aktivitas premanisme
Selama 11 hari operasi berlangsung, aparat kepolisian dari berbagai satuan wilayah dilibatkan, mulai dari Polda hingga Polres dan Polsek. Pendekatan dilakukan melalui patroli rutin, penyisiran titik rawan, hingga penyamaran oleh intelijen untuk mendeteksi praktik premanisme terselubung.
Hasil Operasi dalam Angka
Menurut data resmi dari Mabes Polri, hasil yang diperoleh dalam Operasi Anti Premanisme selama 11 hari terbilang signifikan:
-
Lebih dari 6.000 orang terduga preman diamankan
-
Ratusan lokasi rawan premanisme berhasil dipetakan ulang
-
Puluhan jaringan pemalakan di pelabuhan dan terminal dibongkar
-
Banyak dari pelaku diketahui sebagai residivis atau bagian dari kelompok terorganisir
Dari ribuan orang yang diamankan, sebagian besar diproses secara hukum, sementara sisanya diberikan pembinaan dan peringatan. Polisi juga bekerja sama dengan pemda setempat dan tokoh masyarakat untuk memastikan pengawasan berlanjut di wilayah masing-masing.
Namun demikian, angka keberhasilan ini memicu diskusi baru: apakah kuantitas penangkapan ini setara dengan kualitas pencegahan kejahatan ke depan?
Efektivitas Jangka Pendek vs. Jangka Panjang
Salah satu kekhawatiran utama publik adalah bahwa Operasi Anti Premanisme bersifat reaktif dan hanya berlangsung singkat. Banyak pihak bertanya-tanya: apa yang terjadi setelah 11 hari tersebut? Apakah para pelaku akan kembali menjalankan aktivitasnya setelah kondisi mulai kondusif?
Pakar kriminologi dari Universitas Indonesia, Dr. Rahmat Wibisono, menyebut bahwa operasi semacam ini sangat penting sebagai “shock therapy”, namun perlu disertai dengan pendekatan jangka panjang berbasis komunitas dan ekonomi. Menurutnya, premanisme lahir dari ruang kosong — ketika negara tidak hadir dan sistem ekonomi gagal menciptakan lapangan kerja yang cukup.
Jika hanya melakukan penangkapan tanpa solusi sosial, maka operasi ini akan bersifat sementara. Oleh karena itu, integrasi antara pendekatan hukum dan sosial harus dijalankan paralel.
Perspektif Masyarakat: Rasa Aman yang Kembali Hadir
Dari sisi masyarakat, banyak warga mengaku merasa lebih tenang dengan adanya Operasi Anti Premanisme. Para sopir angkot, pedagang pasar, hingga pengusaha kecil merasakan langsung manfaatnya. Banyak yang sebelumnya harus membayar pungutan liar setiap hari kini bisa bernapas lega.
Di beberapa kota seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya, titik-titik rawan seperti terminal, stasiun, pelabuhan, dan pasar kini dijaga aparat secara bergilir. Hal ini menciptakan efek psikologis yang positif bagi masyarakat, bahwa keamanan kini tidak hanya milik kalangan atas tetapi juga menyentuh lapisan bawah.
Namun, tidak sedikit pula yang mengkhawatirkan efek balas dendam dari kelompok preman yang merasa dirugikan. Dalam beberapa kasus, pelaku yang dibebaskan justru kembali mengintimidasi warga secara sembunyi-sembunyi.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Meski pelaksanaannya dinilai berhasil, operasi ini tidak lepas dari berbagai tantangan. Beberapa di antaranya:
-
Keterbatasan personel dalam mengawasi ribuan titik rawan premanisme secara terus-menerus
-
Potensi kolusi antara aparat dan pelaku, yang dapat menghambat penindakan
-
Kesulitan mengklasifikasi pelaku premanisme karena tidak semua menggunakan kekerasan fisik—banyak yang memakai tekanan verbal atau sistem ‘jasa’
Selain itu, pendekatan represif terkadang menimbulkan kekhawatiran tentang pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, pengawasan internal dan transparansi dalam pelaksanaan operasi menjadi kunci keberhasilan jangka panjang.
Peran Media dan Teknologi
Sumber gambar : tempo.co
Media memegang peran penting dalam mendukung Operasi Anti Premanisme. Dengan peliputan intensif dan penyebaran informasi melalui televisi, radio, dan media sosial, publik semakin sadar akan hak-hak mereka serta berani melapor jika terjadi pemalakan atau intimidasi.
Selain itu, teknologi seperti CCTV dan aplikasi dingdongtogel pengaduan berbasis online juga mulai dimanfaatkan untuk memantau titik-titik rawan secara real-time. Hal ini membantu polisi untuk bergerak lebih cepat dalam merespons laporan dari warga.
Beberapa kota bahkan mengembangkan sistem pelaporan digital yang terhubung langsung ke kantor kepolisian daerah, sehingga pengaduan bisa ditangani dalam hitungan menit.
Harapan dan Rekomendasi
Meskipun Operasi Anti Premanisme menunjukkan hasil yang menjanjikan, para ahli dan aktivis sosial memberikan beberapa rekomendasi agar dampaknya bisa berkelanjutan:
-
Pemberdayaan Ekonomi Lokal
Berikan pelatihan kerja dan akses modal kepada eks-preman agar tidak kembali ke jalanan. Banyak dari mereka menjadi preman karena tidak punya pilihan ekonomi. -
Penguatan Sistem Pengawasan
Bentuk tim pengawas independen di setiap kota untuk memastikan tidak ada aparat yang bermain mata dengan pelaku. -
Pendidikan Hukum untuk Warga
Sosialisasi hukum perlu digalakkan agar masyarakat tahu hak-haknya dan tidak mudah ditakut-takuti. -
Kolaborasi dengan Ormas dan Tokoh Masyarakat
Melibatkan pemuka agama dan tokoh lokal dalam program pembinaan sosial agar pencegahan premanisme dilakukan dari akar. -
Integrasi Operasi dengan Program Pemerintah Daerah
Operasi semacam ini harus menjadi bagian dari program keamanan dan kesejahteraan daerah, bukan sekadar agenda pusat.
Kesimpulan
Operasi Anti Premanisme selama 11 hari merupakan langkah konkret yang menunjukkan keberpihakan negara kepada warga dalam menciptakan ruang publik yang aman dan nyaman. Hasilnya terlihat signifikan dalam jangka pendek, baik dari sisi jumlah penangkapan maupun efek psikologis kepada masyarakat.
Namun untuk memastikan dampaknya berkelanjutan, operasi ini harus diikuti dengan strategi jangka panjang yang mencakup pendekatan ekonomi, sosial, dan hukum. Premanisme tidak hanya bisa diberantas dengan tangan besi, tetapi juga dengan menciptakan ruang keadilan sosial di mana semua warga merasa dilindungi dan dihargai.
Dengan komitmen bersama dari pemerintah, aparat, dan masyarakat, Indonesia bisa berharap memiliki ruang publik yang benar-benar bebas dari ancaman premanisme di masa depan.
Baca Juga Artikel Berikut: Tulang Hidung Retak Gegara Ojol, Korban Tuntut Rp80 Juta