September 28, 2025

INCA BERITA

Berita Terkini Seputar Peristiwa Penting di Indonesia dan Dunia

Tawuran Pelajar Jakbar: Ketika KJP Jadi Taruhan Moralitas Pelajar

Tawuran Pelajar di Jakbar, Walikota Bersuara Ancam Akan Cabut KJP

Jakarta, incaberita.co.id – kota megapolitan yang tak pernah tidur. Tapi ada satu sisi yang terus menghantui wajah modernnya: Tawuran Pelajar Jakbar. Kali ini, kisah lama itu terjadi di wilayah Jakarta Barat—lagi-lagi menyedihkan, mengejutkan, dan memicu pertanyaan publik. Apa yang sebenarnya dicari para pelajar ini?

Dalam sebuah kejadian yang berlangsung tidak jauh dari permukiman padat di kawasan Cengkareng, sekelompok pelajar dari dua sekolah berbeda terlibat dalam bentrokan jalanan. Bentrokan yang terekam dan viral di media sosial itu memicu respons keras, termasuk dari Wali Kota Jakarta Barat sendiri. Ia mengancam mencabut Kartu Jakarta Pintar (KJP) dari para pelajar yang terbukti ikut tawuran.

Ancaman ini memantik dua reaksi ekstrem: sebagian menyambutnya dengan tepuk tangan, sebagian lagi menuduhnya sebagai tindakan impulsif yang justru bisa memperparah akar masalah.

KJP—Bantuan Pendidikan atau Alat Pengendali Sosial?

Tawuran Pelajar Jakbar

Image Source: Tribunnews.com

Untuk memahami kenapa isu ini begitu panas, kita harus menengok dulu ke asal usul KJP. Program Kartu Jakarta Pintar adalah inisiatif Pemerintah Provinsi DKI untuk mendorong pemerataan akses pendidikan. Lewat kartu ini, pelajar dari keluarga kurang mampu mendapatkan bantuan dana yang bisa digunakan untuk keperluan sekolah, seragam, alat tulis, bahkan transportasi.

Namun, ketika bantuan ini dipakai sebagai alat sanksi sosial, timbul perdebatan etis. Apakah pantas sebuah hak pendidikan diputus karena pelajar melanggar disiplin sosial?

Wali Kota Jakarta Barat, dalam pernyataannya, menegaskan bahwa pelajar yang terlibat tawuran bukan sekadar melanggar aturan sekolah, tetapi telah mencederai harapan masyarakat. Menurutnya, KJP diberikan bukan hanya untuk mendidik, tapi juga untuk membentuk karakter yang beretika. Maka, saat seorang penerima KJP justru merusak tatanan sosial, pencabutan dianggap sebagai peringatan keras.

Namun, banyak pemerhati pendidikan yang angkat bicara. Mereka berpendapat bahwa mencabut KJP sama saja dengan menjatuhkan hukuman berlapis pada keluarga miskin. Hukuman yang tidak hanya menyasar pelajar, tapi juga memutus peluang mereka untuk bangkit lewat pendidikan.

Apa Kata Lapangan? Antara Mentalitas Geng dan Rasa Tak Terlihat

Dalam wawancara singkat dengan seorang guru BK dari salah satu sekolah negeri di Jakarta Barat, ia mengungkapkan bahwa akar masalah tawuran sering kali lebih dalam daripada sekadar “gengsi” atau “salah paham antarsekolah”.

“Banyak dari mereka merasa tidak dilihat, tidak dihargai. Di rumah mereka ditekan, di sekolah mereka dibandingkan. Akhirnya cari pengakuan di jalan.”

Menurut guru tersebut, beberapa pelajar yang ikut tawuran justru adalah penerima KJP aktif. Ironisnya, justru karena KJP mereka punya uang saku—yang kemudian dimanfaatkan untuk berkumpul, nongkrong, dan dalam kasus ekstrem, membeli senjata tajam.

Namun, generalisasi itu tidak adil. Banyak penerima KJP lainnya justru adalah pelajar teladan, bahkan masuk peringkat atas di kelasnya. Maka ancaman pencabutan KJP tanpa mekanisme saring bisa menghukum yang salah dan yang benar secara bersamaan.

Tawuran Pelajar di Era Digital—Cepat Viral, Tapi Solusi Terlambat

Ada satu hal yang membedakan tawuran masa kini dengan masa lalu: kamera ponsel dan media sosial. Tawuran hari ini bukan lagi “rahasia gang belakang sekolah”. Ia direkam, disebar, dan menjadi bahan debat publik hanya dalam hitungan menit.

Di satu sisi, ini memberi efek jera. Pelaku tidak bisa bersembunyi. Tapi di sisi lain, ini juga mempermalukan mereka secara sosial, bahkan sebelum proses pendisiplinan formal dijalankan.

Ada risiko pelajar jadi trauma sosial, dijauhi, dan kehilangan kepercayaan diri hanya karena sekali terjebak dalam kekerasan kolektif. Ketika KJP ikut dicabut, mereka benar-benar jatuh. Jatuh secara ekonomi, sosial, dan psikologis.

Bahkan ada laporan tak resmi bahwa beberapa pelajar yang terekam ikut tawuran memilih berhenti sekolah karena malu dan takut dicap “anak rusak”. Jika ini menjadi pola, maka pencabutan KJP tanpa pembinaan adalah resep pasti menuju generasi yang gagal tumbuh.

Alternatif Solusi—Menertibkan Tanpa Mencabut Akar Pendidikan

Apa sebenarnya yang bisa dilakukan pemerintah kota, sekolah, dan masyarakat untuk mencegah fenomena ini berulang, tanpa mencabut masa depan anak-anak?

Berikut sejumlah solusi yang muncul dari diskusi para praktisi pendidikan dan psikolog anak:

1. Pendekatan Restoratif, Bukan Represif

Alih-alih langsung mencabut KJP, kenapa tidak mengharuskan pelajar pelaku tawuran mengikuti program rehabilitasi sosial, seperti kerja sosial, konseling rutin, atau edukasi ulang tentang nilai-nilai anti-kekerasan?

2. Transparansi dan Mekanisme Gugatan

Jika KJP bisa dicabut, maka harus ada sistem banding atau klarifikasi. Misalnya, apakah semua pelajar yang terekam benar-benar ikut tawuran? Atau ada yang hanya kebetulan berada di lokasi?

3. Pemanfaatan KJP untuk Pendidikan Karakter

Jadikan KJP tidak hanya sebagai bantuan ekonomi, tapi juga sebagai bagian dari program pembinaan. Tambahkan sesi pelatihan sosial, penguatan psikologis, atau mentorship untuk penerima KJP.

4. Libatkan Orang Tua Lebih Jauh

Banyak orang tua penerima KJP yang tidak tahu apa yang dilakukan anaknya di luar rumah. Pemerintah daerah bisa membentuk komunitas pengawas berbasis RT/RW untuk mempererat keterlibatan keluarga.

Anekdot fiktif: Seorang ibu di Kalideres yang anaknya terlibat tawuran mengaku baru tahu dua hari kemudian. Ia menangis saat mendengar kabar KJP akan dicabut, karena bantuan itu satu-satunya harapan pendidikan anaknya.

Kesimpulan: KJP Bukan Senjata, Tapi Jembatan

Tawuran pelajar memang masalah serius. Tapi cara menanganinya tidak boleh lebih destruktif dari masalah itu sendiri. Pendidikan adalah hak. Dan KJP adalah jembatan yang menghubungkan keluarga rentan dengan kesempatan hidup lebih baik.

Mencabut KJP bisa menjadi sinyal keras, tapi juga sinyal kegagalan negara dalam membina anak-anaknya. Jika hukum hanya tajam kepada mereka yang paling lemah, maka kita tidak sedang menyelesaikan masalah, melainkan memindahkannya ke masa depan yang lebih buruk.

Sudah waktunya para pemimpin wilayah melihat pelajar bukan hanya sebagai potensi pelanggar, tapi sebagai benih masa depan yang harus disirami—meski kadang menyimpang arah.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal

Baca Juga Artikel Dari: Tim KPK Masih Buru Harun Masiku Berdasarkan Laporan Masyarakat

Author

Copyright @ 2025 Incaberita. All right reserved