Tambang Raja Ampat: Ketika Surga Bumi di Eksploitasi

Tambang Raja Ampat bukan cuma ‘tempat liburan keren’. Ia adalah permata ekosistem dunia.
Berada di Provinsi Papua Barat Daya, wilayah ini dikenal sebagai bagian dari coral triangle—area laut dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Dari ubur-ubur tanpa sengat di Danau Lenmakana, hingga ikan endemik yang cuma hidup di satu titik laguna, Raja Ampat lebih mirip laboratorium biologi alami daripada sekadar gugusan pulau.
Namun, di balik pesona lautnya, wilayah ini juga memiliki kekayaan sumber daya alam lain: tambang mineral—nikel, emas, bahkan bauksit. Dan di sinilah konflik dimulai.
Raja Ampat: Lebih dari Sekadar Destinasi Wisata
Image Source: Antaranews.com
Isu Tambang di Raja Ampat: Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Isu tambang di Raja Ampat bukan berita baru, tapi memuncak kembali setelah beberapa tahun terakhir munculnya izin eksplorasi dan operasi produksi pertambangan di kawasan tersebut.
Beberapa perusahaan, dengan dasar legalitas berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari pemerintah daerah atau pusat, mulai menunjukkan minat mengeksplorasi area yang secara geografis masuk ke dalam zona sensitif ekologi.
Yang menjadi sorotan utama adalah:
-
Potensi pertambangan nikel di Pulau Kawe dan Waigeo
-
Konflik antara masyarakat adat dan korporasi tambang
-
Dampak tambang terhadap terumbu karang dan sumber air tanah
Masyarakat lokal, khususnya suku Maya dan suku lain di sekitar kawasan, mulai menunjukkan perlawanan lewat berbagai forum, demonstrasi, hingga gugatan hukum. Mereka khawatir—dan wajar—bahwa aktivitas pertambangan akan merusak satu-satunya sumber hidup dan identitas budaya mereka.
Dampak Tambang: Bukan Sekadar Lubang di Tanah
Kalau kamu pikir tambang cuma meninggalkan “lubang besar”, pikir lagi.
Di daerah seperti Raja Ampat, efek pertambangan bisa merembet ke hampir semua aspek:
a. Ekologi
Aktivitas tambang, terutama open pit mining, bisa merusak hutan primer, mencemari sungai, dan meningkatkan sedimentasi di laut. Padahal Raja Ampat adalah rumah bagi 75% spesies karang dunia. Sedikit saja kerusakan ekosistem laut, bisa merusak rantai makanan yang sensitif.
b. Budaya dan Sosial
Masyarakat adat hidup berdampingan dengan alam. Mereka berburu, memancing, dan meracik obat dari hutan. Jika tanah adat mereka digunakan untuk tambang, hilang sudah nilai kearifan lokal yang terbangun selama ratusan tahun.
c. Pariwisata
Industri pariwisata di Raja Ampat mengandalkan alam yang tetap utuh. Wisatawan datang untuk snorkeling, diving, dan menyatu dengan alam. Adanya tambang bisa merusak citra global Raja Ampat sebagai destinasi ekowisata kelas dunia.
d. Iklim
Hutan di Papua menyimpan jutaan ton karbon. Jika kawasan ini dibuka, Indonesia akan kehilangan salah satu penyerap emisi terpenting di Asia Pasifik.
Suara Masyarakat: “Kami Tidak Butuh Tambang”
Salah satu momen penting terjadi pada 2022, ketika warga Kampung Waisai menyuarakan penolakan terbuka terhadap masuknya tambang di kawasan mereka.
“Yang kami butuhkan adalah sekolah yang baik, rumah sakit yang layak, dan listrik. Bukan tambang,” kata seorang tokoh adat dalam video yang viral di media sosial.
Beberapa komunitas lokal bahkan sudah mulai mengelola wisata alam berbasis komunitas, seperti di Arborek dan Yenbuba. Mereka menciptakan pendapatan dari homestay, tur laut, dan kerajinan tangan. Kehadiran tambang hanya akan menggeser arah ekonomi lokal yang sudah mulai berjalan mandiri dan berkelanjutan.
Legalitas yang Membingungkan: Siapa yang Salah?
Salah satu tantangan terbesar dari isu ini adalah tumpang tindih kebijakan. Antara izin pemerintah pusat dan daerah, antara kepentingan kementerian ESDM dan KLHK, antara regulasi industri dan perlindungan wilayah adat.
Kondisi ini membuat celah bagi perusahaan untuk tetap melanjutkan eksplorasi tambang, meski protes dari masyarakat terus bergema.
Contoh nyata: Izin tambang yang diberikan kepada perusahaan di Pulau Kawe sempat dicabut, lalu kembali muncul dalam bentuk izin baru dengan nama perusahaan berbeda.
Ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada “pintu belakang” yang dimanfaatkan oleh oknum tertentu demi meloloskan proyek yang secara ekologi tidak layak.
Perbandingan: Negara Lain Juga Pernah Gagal
Kita bisa belajar dari kasus serupa di negara lain.
a. Filipina
Pulau Palawan pernah mengalami boom tambang emas, yang kemudian menyebabkan kehancuran kawasan hutan dan hilangnya beberapa spesies endemik. Saat ini, pemerintah Filipina sedang berjuang keras untuk memulihkan citra dan ekosistem pulau tersebut.
b. Brasil
Amazon bukan hanya dirambah oleh penebangan ilegal, tapi juga tambang emas ilegal. Hasilnya? Pencemaran air raksa, konflik dengan masyarakat adat, dan lonjakan deforestasi.
Jika Raja Ampat tidak dijaga, skenario serupa bukan mustahil terjadi. Bahkan bisa lebih parah, karena reputasi Indonesia di mata internasional sangat bergantung pada konservasi Papua.
Masa Depan: Konservasi atau Ekstraksi?
Pertanyaannya sekarang: ke mana arah kebijakan Indonesia?
Apakah kita akan tetap membiarkan Raja Ampat menjadi ‘kolam emas’ bagi investor, atau kita pertahankan sebagai warisan ekologis bangsa?
Beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan:
-
Moratorium tambang di kawasan sensitif ekologi seperti Raja Ampat
-
Pemberdayaan ekonomi masyarakat lewat ekowisata
-
Reformasi izin tambang yang transparan dan partisipatif
-
Penguatan hukum atas tanah adat
Di tengah narasi hilirisasi dan industrialisasi nikel untuk baterai kendaraan listrik, kita harus ingat: green economy bukan sekadar soal produk hijau, tapi juga proses yang tidak merusak alam.
Penutup: Suara Surga yang Perlu Didengar
Raja Ampat bukan sekadar lanskap. Ia adalah lanskap kehidupan.
Ketika dunia memujinya sebagai “The Last Paradise on Earth”, kita justru dihadapkan pada pilihan: membiarkannya rusak demi tambang yang hanya bertahan puluhan tahun, atau menjaganya sebagai ekosistem yang menopang kehidupan selama ribuan tahun ke depan.
Karena tidak semua kerugian bisa dihitung dengan angka. Ada nilai yang hanya bisa dirasakan—dan ketika ia hilang, tak bisa dibeli kembali.
Baca Juga Artikel dari: Tambang Raja 4: Jokowi Tidak Terlibat Bantah Bahlil Lahadalia!
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal