June 27, 2025

INCA BERITA

Berita Terkini Seputar Peristiwa Penting di Indonesia dan Dunia

Suami Lakukan KDRT di Sambikerep: Kisah Nyata dan Luka Diam

Gawat "KDRT" Semakin Marak, Suami di Sambikerep Siksa Istri

Surabaya, incaberita.co.id – Pagi itu, warga Sambikerep, Surabaya Barat, dikejutkan oleh suara tangis dari sebuah rumah yang tampak tenang selama ini. Rumah cat krem, pagar besi hitam, tanaman gantung di teras. Tidak ada yang aneh—seperti rumah keluarga pada umumnya.

Tapi suara tangis yang terdengar berbeda. Tercekik, bercampur takut. Seorang tetangga, sebut saja Bu Tari, akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu. Yang keluar bukan seorang ibu rumah tangga biasa. Yang keluar adalah Rina (nama disamarkan), dengan pipi membiru dan tangan gemetar memeluk anak balitanya.

“Saya nggak tahan lagi, Bu. Saya mau lapor polisi,” katanya lirih.

Kasus suami lakukan KDRT di Sambikerep ini langsung menyebar di grup WhatsApp RT. Tetangga kaget. Beberapa bahkan tidak percaya. Selama ini, Rina dan suaminya terlihat akur. Suaminya sopan. Punya pekerjaan tetap. Bahkan aktif di pengajian kompleks.

Tapi, seperti banyak kasus KDRT lainnya—apa yang terlihat di luar sering tidak sama dengan kenyataan di balik pintu tertutup.

Apa Itu KDRT? Dan Mengapa Banyak Korban Tidak Langsung Lapor?

Suami Lakukan KDRT

Image Source: Liputan6

Sebelum kita menghakimi atau bertanya, “Kenapa nggak dari dulu aja lapor?”, mari kita pahami konteksnya.

KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) bukan hanya soal tamparan atau pukulan. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 di Indonesia mengategorikan KDRT menjadi empat jenis:

  1. Kekerasan fisik (pukulan, cekikan, bentakan fisik)

  2. Kekerasan psikis (ancaman, makian, pengendalian berlebihan)

  3. Kekerasan seksual (pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan)

  4. Penelantaran ekonomi (tidak diberi nafkah, dikontrol akses keuangan)

Dalam kasus Rina, ia mengalami hampir semuanya. “Dia tidak izinkan saya kerja, semua harus minta. Kalau saya bantah, bisa dilempar gelas. Pernah saya dikunci di kamar dua hari,” cerita Rina saat akhirnya dibawa ke Polsek.

Tapi kenapa baru sekarang melapor?

Padahal, KDRT bukan aib. Ia adalah kejahatan. Dan korban perlu dukungan, bukan penghakiman.

Data dan Realita: KDRT di Indonesia Masih Mengkhawatirkan

Kasus suami lakukan KDRT di Sambikerep bukan satu-satunya. Faktanya, ini hanya satu dari banyak cerita yang akhirnya terdengar. Sisanya? Masih sunyi.

Menurut data dari Komnas Perempuan, sepanjang 2023, tercatat lebih dari 450 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan, dan lebih dari 70% di antaranya terjadi di ranah rumah tangga.

Provinsi Jawa Timur, termasuk Surabaya, berada di posisi 5 besar dengan laporan terbanyak.

Dan jangan salah, pelaku KDRT bukan cuma dari kalangan “bermasalah”. Banyak di antaranya:

  • Pegawai negeri

  • Tokoh masyarakat

  • Pengusaha sukses

  • Bahkan, pemuka agama

Kekerasan tidak kenal status sosial.

Yang lebih menyedihkan, banyak korban yang sudah lapor tidak lanjut kasusnya karena dicabut. Alasannya? Tekanan keluarga, bujukan tetua, janji manis pelaku yang minta maaf, atau—lagi-lagi—karena “anak butuh ayahnya.”

Padahal, penelitian menunjukkan bahwa anak yang tumbuh di rumah dengan kekerasan rentan mengalami trauma jangka panjang. Luka batin itu tidak terlihat, tapi nyata.

Bagaimana Proses Hukum KDRT di Indonesia? Bisa Lanjut Tanpa Cabut Laporan?

Satu pertanyaan yang sering muncul: “Kalau korban udah lapor, terus dicabut, apa pelaku tetap bisa dihukum?”

Jawabannya: bisa, tergantung bentuk kekerasannya.

  • Untuk kekerasan fisik ringan, hukumannya bisa dicabut kalau korban memaafkan.

  • Tapi untuk kekerasan berat, seksual, dan penelantaran ekonomi, proses hukum tetap jalan meski korban mencabut laporan, apalagi jika ada bukti medis atau saksi.

Dalam kasus Rina, pihak Polsek Sambikerep bekerja sama dengan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak serta LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk memfasilitasi tempat aman dan pendampingan hukum.

Langkah ini penting, karena banyak korban akhirnya menarik laporan bukan karena ikhlas, tapi karena takut.

Peran masyarakat juga krusial. Dukungan tetangga, RT, tokoh agama, dan lingkungan sekitar sangat membantu korban merasa tidak sendiri. Dalam kasus Rina, ada dua ibu-ibu komplek yang langsung bersedia jadi saksi. Mereka selama ini mendengar keributan, tapi baru berani bicara setelah Rina melapor.

Apa yang Bisa Kita Lakukan? Dari Sekadar Simpati Menjadi Tindakan

Tidak semua dari kita jadi korban. Tapi semua dari kita bisa jadi bagian dari solusi.

1. Berani Bicara, Tanpa Menghakimi

Kalau temanmu mulai sering absen tanpa alasan, terlihat murung, atau jadi tertutup, coba tanya dengan empati. Tidak semua orang bisa langsung cerita. Tapi satu chat “Kamu baik-baik aja, aku di sini kalau kamu butuh cerita” bisa jadi titik tolak keberanian.

2. Catat dan Dokumentasikan

Kalau kamu sendiri mengalami KDRT, usahakan dokumentasi:

  • Foto luka (jika aman untuk dilakukan)

  • Catatan kronologi kejadian

  • Chat ancaman atau rekaman (bila memungkinkan)

Data ini sangat penting saat proses hukum berlangsung.

3. Cari Bantuan: Kamu Tidak Sendiri

Hubungi:

  • Call Center Komnas Perempuan: 021-3903963

  • P2TP2A Kota Surabaya: layanan konseling dan bantuan hukum gratis

  • Polsek terdekat: sekarang sudah ada ruang ramah perempuan dan anak

Jangan menunggu sampai “lebih parah”. Kalau kamu merasa terancam, itu cukup untuk mencari bantuan.

4. Edukasi Anak dan Generasi Muda

Ajarkan bahwa cinta tidak menyakitkan. Bahwa kontrol bukan tanda sayang. Dan bahwa kekerasan tidak pernah boleh dibenarkan, di mana pun, oleh siapa pun.

Penutup: Luka Boleh Ada, Tapi Diam Bukan Pilihan Lagi

Kasus suami lakukan KDRT di Sambikerep adalah cermin. Bukan hanya tentang satu keluarga, tapi tentang bagaimana kita sebagai masyarakat memandang kekerasan.

Sudah waktunya kita berhenti menyembunyikan kekerasan dengan istilah “urusan rumah tangga.” Sudah saatnya kita percaya bahwa perempuan, anak, dan siapa pun yang hidup dalam ketakutan… layak untuk hidup dalam damai.

Kalau kamu membaca ini dan sedang mengalami hal yang sama: kamu tidak sendiri. Kamu tidak salah. Dan kamu berhak untuk diselamatkan — bukan besok, tapi sekarang.

Baca Juga Artikel dari: Iran Gempur Israel: Dunia Menahan Napas, Apa yang Terjadi?

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal

Author

Copyright @ 2025 Incaberita. All right reserved