RI Pasar Terbesar TikTok: Indonesia Jadi Raksasa Media Sosial

Jakarta, incaberita.co.id – RI Pasar Terbesar TikTok Pukul 22.30 malam di sebuah kosan mahasiswa di Yogyakarta, Dani masih memandangi layar ponselnya. Scroll, like, ketawa, save. Dalam satu malam, ia bisa menghabiskan 2 jam hanya untuk menonton video berdurasi 15 detik. “Niatnya cuma buka TikTok buat liat satu video. Eh, tau-tau udah jam setengah satu,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Cerita Dani bukan kasus langka. Ia representasi dari jutaan anak muda Indonesia yang kini menjadikan TikTok bukan sekadar aplikasi hiburan, tapi bagian dari rutinitas harian. Bahkan bagi sebagian orang, TikTok adalah sumber berita, referensi belanja, hingga tempat promosi dagangan.
Menurut data yang dirilis beberapa media ekonomi nasional, Indonesia kini menjadi pasar terbesar TikTok secara global, menyalip Amerika Serikat dan India (yang kini sudah memblokir aplikasi ini sejak 2020). Data pengguna aktif TikTok di Indonesia per 2024 mencapai lebih dari 125 juta, angka yang terus meningkat setiap kuartal.
Dominasi Indonesia ini menjadikan TikTok tidak bisa dipandang sebagai aplikasi biasa. Ia sudah berubah menjadi ekosistem digital tersendiri. Pertanyaannya, bagaimana bisa negara berkembang seperti kita justru menjadi primadona TikTok? Mari kita telaah dari berbagai sisi.
Kombinasi Budaya Visual dan Demografi Muda
Image Source: Ids Digital College
Kalau kita bicara soal daya tarik Indonesia untuk TikTok, jawabannya terletak pada budaya masyarakat dan struktur demografi.
Pertama, orang Indonesia adalah masyarakat yang sangat visual. Dari tradisi lisan, seni tari, hingga budaya pamer makanan di grup WhatsApp keluarga—kita memang suka hal-hal yang cepat ditangkap mata dan mudah dicerna. TikTok menyediakan platform sempurna untuk itu: video pendek, dengan musik, editan menarik, dan algoritma yang ‘terlalu tahu’ apa yang kita suka.
Kedua, demografi penduduk Indonesia sangat muda. Sekitar 60% penduduk berada di rentang usia produktif (15–39 tahun), yang notabene adalah pengguna utama platform seperti TikTok. Mereka punya waktu, daya konsumsi digital yang tinggi, dan… ya, rasa ingin tahu yang besar.
Tak heran bila di daerah seperti Medan, Makassar, hingga Malang, kita bisa menemukan TikTokers dengan jutaan pengikut. Mereka bukan artis televisi. Kadang hanya pemuda kampung dengan kreativitas edit video dan ide-ide relatable seperti “sketsa emak-emak galak” atau “bocah SD jajan di warung”.
Dan jangan lupakan: algoritma TikTok tidak membeda-bedakan status sosial. Video lucu dari desa bisa viral sama cepatnya dengan video selebritas di hotel bintang lima.
Dari Konten Hiburan ke Lumbung Ekonomi Digital
Transformasi terbesar TikTok di Indonesia adalah ketika ia tidak lagi cuma soal hiburan, tapi juga menjadi lumbung ekonomi baru.
Melalui fitur TikTok Shop (yang sempat dihentikan sementara oleh pemerintah lalu diatur ulang), jutaan pelaku UMKM mulai meraup keuntungan hanya bermodalkan kamera ponsel. Ada ibu rumah tangga yang jualan daster di TikTok Live, pemuda desa yang menjual alat pertanian, hingga anak sekolah yang sukses jualan aksesoris handmade.
Salah satu kisah menarik datang dari Rizka, 24 tahun, penjual sepatu handmade di Bandung. “Dulu cuma buka lapak di pasar dan sesekali promosi di Instagram. Setelah aktif di TikTok, omset bisa naik tiga kali lipat,” katanya bangga.
TikTok menjadi sarana baru bagi mereka yang dulu tak tersentuh ekosistem e-commerce konvensional. Bahkan, beberapa brand besar kini mulai mengalihkan anggaran iklan mereka ke TikTok karena efeknya jauh lebih personal dan menjangkau langsung target audience.
Kehadiran kreator konten seperti “host live jualan” juga ikut membentuk ekosistem baru. Mereka bisa siaran belasan jam sehari, menjual produk dengan gaya unik, kadang kocak, kadang dramatis, kadang absurd. Tapi nyatanya, laku keras.
Pro-Kontra dan Campur Tangan Pemerintah
Di balik euforia itu, TikTok juga bukan tanpa kontroversi di Indonesia. Pemerintah sempat menghentikan sementara TikTok Shop karena dinilai mencampur perdagangan dan media sosial dalam satu platform. Hal ini melanggar Peraturan Menteri Perdagangan tentang e-commerce.
Salah satu yang dikhawatirkan adalah matinya pedagang offline akibat persaingan harga yang tak masuk akal di TikTok Shop. Dalam beberapa laporan media, pedagang pasar mengeluhkan omzet mereka anjlok karena konsumen lebih memilih belanja online lewat TikTok.
Menteri Perdagangan dan Kementerian Kominfo pun turun tangan. TikTok diminta beradaptasi dengan regulasi lokal. Akhirnya, TikTok menggandeng mitra lokal untuk memisahkan fitur e-commerce dari media sosial—sebuah langkah kompromi yang menguntungkan kedua pihak.
Dari sini, kita bisa belajar bahwa dominasi digital tetap butuh pengawasan dan regulasi bijak. Indonesia tidak anti teknologi, tapi perlu menjaga ekosistem bisnis lokal tetap hidup.
Sementara itu, sebagian kalangan juga mulai membicarakan dampak psikologis TikTok—mulai dari screen time yang tinggi, efek FOMO, hingga konsumsi konten yang kadang kurang edukatif. Namun, banyak juga yang membela bahwa platform ini hanyalah alat, dan semua kembali ke cara penggunaannya.
Masa Depan TikTok dan Potensi Besar Indonesia
Jadi, apa artinya semua ini?
Pertama, Indonesia bukan lagi sekadar pengguna, tapi penggerak utama dalam narasi global TikTok. Dengan 125 juta pengguna aktif, negara ini memegang kunci arah platform, terutama di Asia Tenggara.
Kedua, kehadiran TikTok bisa menjadi batu loncatan Indonesia untuk mengembangkan ekonomi kreatif lokal. Dari musik, fesyen, kuliner, hingga literasi finansial—semua bisa dikemas dalam format video pendek yang ramah algoritma.
Ketiga, peran generasi muda jadi sangat sentral. Karena mereka bukan hanya konsumen, tapi juga kreator dan pelaku usaha. Dunia digital tidak lagi dimonopoli oleh korporasi besar. Di TikTok, siapa pun bisa jadi bintang.
Namun, perlu dicatat, bahwa potensi besar ini juga menyimpan tantangan besar: soal perlindungan data, kualitas konten, keberlanjutan ekonomi kreatif, hingga keseimbangan antara dunia maya dan nyata.
Pemerintah, pelaku industri, pendidik, dan masyarakat umum harus mulai mengedukasi publik tentang etika digital, literasi media, serta manajemen waktu di dunia maya.
Karena jika dikelola dengan benar, TikTok bukan musuh, tapi mitra. Bukan penghancur generasi, tapi jembatan menuju masa depan ekonomi digital Indonesia yang inklusif dan kompetitif.
Penutup:
Fakta bahwa RI menjadi pasar terbesar TikTok di dunia bukan hanya statistik. Itu cerminan bagaimana cepatnya masyarakat kita beradaptasi pada teknologi, serta potensi besar yang kita miliki dalam kancah digital global.
Entah kamu seorang penonton pasif, konten kreator, pedagang kecil, atau pelajar yang baru mengenal dunia sosial media—kamu sedang berada di tengah gelombang revolusi budaya digital.
TikTok telah menjadi arena, dan Indonesia sedang berada di panggung utama. Yang perlu kita pikirkan sekarang adalah: mau dibawa ke mana arah pertunjukan ini?
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal
Baca Juga Artikel Dari: Kolombia Cabut Peringatan Stunami, Daerah Pesisir Kondusif