Pengurus Baru PPP: Siapa Pengurus Baru dan Arah Fraksi

Jakarta, incaberita.co.id – Dalam dunia politik Indonesia, konflik internal partai kerap jadi ujian legitimasi. Bagi Pengurus Baru PPP, momen itu tiba ketika Muktamar Ke-10 menghasilkan dua calon ketua umum yang sama-sama mengklaim legitimasi: Muhammad Mardiono dan Agus Suparmanto.
Sejak pengumuman hasil muktamar, publik mendapati suasana tak lagi solid. Di banyak media nasional, tajuk utama berbunyi “PPP terbelah dua” karena setiap kubu menunjukkan struktur pengurus baru masing-masing. Pemerintah pun terpaksa bersikap hati-hati: tidak akan mengesahkan kepengurusan mana pun sebelum konflik diselesaikan. Pemerintah menyatakan netralitas dan meminta agar Pengurus Baru PPP menyelesaikannya sendiri dari dalam.
Kubu Mardiono dan Agus Suparmanto masing-masing mengklaim bahwa muktamar atau forum internal mereka sesuai AD/ART. Keduanya mendaftarkan struktur pengurus baru ke Kementerian Hukum dan HAM. Namun, pengesahan resmi tertunda karena ketidaksepakatan internal—pemerintah memilih menunggu hingga ada konsensus atau hasil kajian hukum.
Kisah ini bukanlah hal baru bagi PPP. Selama sejarahnya partai ini sudah beberapa kali mengalami dualisme kepemimpinan dan konflik internal, terutama ketika kubu berbeda saling menentang interpretasi AD/ART partai.
Sejarah Perpecahan PPP—Bukan Kali Pertama
Image Source: Tempo.co
Untuk memahami konflik saat ini, kita perlu menoleh ke masa lalu PPP. Sejak tahun 2000-an, PPP beberapa kali goyah oleh konflik internal yang memecah loyalitas kader dan pengurus di tingkat pusat hingga daerah.
Misalnya masa Suryadharma Ali (SDA) yang menjadi Ketua Umum PPP. Saat itu ia mengambil langkah politik yang kontroversial — mendeklarasikan dukungan ke calon tertentu tanpa restu penuh internal — dan kemudian menghadapi gerakan mosi tak percaya dari pengurus wilayah. Konflik itu memuncak ketika Romahurmuziy dan Suharso Monoarfa ikut angkat suara.
Kemudian, era peralihan kepemimpinan antara Suharso Monoarfa dan Romahurmuziy juga menyisakan sisa konflik: siapa yang secara sah menggantikan siapa, dan apakah prosedur penggantian sudah sesuai AD/ART.
Sejarah konflik ini membuat saat ini—munculnya kubu Mardiono vs kubu Agus Suparmanto—seakan menjadi siklus lama yang terulang. Banyak kader PPP yang mengingat peristiwa sebelumnya dan menjadi waspada agar partai lambang Ka’bah itu tak hancur karena pertikaian internal.
Siapa Mardiono & Siapa Agus Suparmanto — Klaim dan Basis Dukungan
Muhammad Mardiono: Kubu Arus Lama yang Stabil
Muhammad Mardiono dikenal sebagai tokoh lama di PPP. Sejak terpilih sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum, ia sering dianggap sebagai figur yang menjembatani kubu lama partai. Ia punya jaringan luas di tingkat DPP dan banyak DPW yang masih loyal kepadanya.
Kubu Mardiono mengklaim bahwa proses Muktamar Ke-10 yang menghasilkan kepemimpinan mereka dilakukan sesuai prosedur partai. Struktur pengurus barunya segera diumumkan, dan mereka mendaftarkan ke Kemenkumham.
Namun, langkah-langkah penggantian pengurus di beberapa daerah — seperti Bali — memicu ketegangan. Di Bali misalnya, Mardiono memecat pengurus DPW PPP Bali lewat SK mendadak, tanpa pemberitahuan resmi lebih dahulu. Pengurus lama mengaku mengetahui pemecatan melalui media sosial, bukan lewat komunikasi internal. Perilaku ini dianggap sebagai contoh gaya kepemimpinan otoriter yang bisa memicu resistensi kader di daerah.
Agus Suparmanto: Munculnya Kubu Alternatif
Agus Suparmanto muncul sebagai alternatif bagi mereka yang merasa kepemimpinan Mardiono kurang representatif atau terlalu lama menjadi penjabat. Ia dan pendukungnya mengaku mempunyai legitimasi internal dan bahwa forum muktamar mereka sah.
Kubu ini mendesak agar pemerintah segera menentukan kepengurusan yang sah agar partai tak limbung terlalu lama dalam konflik. Mereka menanggapi bahwa stabilitas internal PPP sangat penting menjelang pemilu dan kompetisi politik nasional.
Dalam konflik seperti ini, satu pihak menuduh pihak lain sebagai penghasut dualisme atau manipulasi AD/ART. Agus Suparmanto dan pendukungnya menyebut bahwa mereka tak sekadar oposisi internal, tetapi bagian dari regenerasi yang harus diberi ruang.
Dampak Konflik ini ke Kader Daerah & Lapisan Bawah
Konflik kepemimpinan partai di tingkat pusat sering mengguncang struktur di daerah. Begitu juga di PPP: pengurus DPW, DPC, dan kader akar rumput terbagi loyalitasnya.
Beberapa pengurus daerah menolak SK pusat yang dianggap tiba-tiba. Di daerah Bali, misalnya, pengurus lama mempertanyakan legalitas SK pemecatan yang diumumkan tanpa dialog terlebih dahulu. Mereka menyebut tindakan itu sebagai “pelanggaran prinsip organisasi.”
Kader daerah yang harus memilih pihak juga berada dalam posisi sulit: bila memilih kubu yang salah, mereka bisa dicopot atau kehilangan akses ke dana partai. Di antara situasi ini, banyak kader yang memilih diam menunggu “putusan tertinggi” agar tidak terjebak konflik.
Di sisi lain, konflik berkepanjangan bisa merusak citra partai di mata publik dan pemilih. Calon legislatif PPP di daerah ikut terdampak karena potensi kebingungan dukungan internal. Elektabilitas partai di pemilu bisa tergerus oleh kesan bahwa PPP tak kompak.
Siapa “Pengurus Baru PPP” yang Diajukan — Struktur & Klaim Sah
Setiap kubu kini memamerkan struktur kepengurusannya sendiri. Mari kita lihat bagaimana struktur itu dirancang dan apa yang mereka klaim:
-
Kubu Mardiono mengumumkan struktur DPP, Majelis, dan DPW baru. Mereka menyatakan bahwa format pengurus ini sudah melalui verifikasi internal dan sesuai AD/ART partai.
-
Kubu Agus Suparmanto juga menyusun struktur mirip, menempatkan tokoh-tokoh bahwa mereka mewakili aspirasi kader yang tidak merasa dilibatkan dalam kepemimpinan Mardiono.
-
Dalam pendaftaran ke kementerian, kedua kubu mengajukan daftar pengurus baru masing-masing. Namun, pemerintah belum mengesahkannya secara resmi karena konflik belum diselesaikan secara legal.
-
Beberapa pihak independen menyebut bahwa pemerintah harus memilih antara dua struktur berdasarkan kajian hukum terhadap AD/ART dan legitimasi forum muktamar, bukan semata kekuatan massa atau pengaruh politik.
Namun, publik masih menunggu pengumuman resmi dari Kementerian Hukum dan HAM tentang mana kepengurusan yang akan diakui negara. Sampai pengesahan itu keluar, kedua kubu tetap mengklaim otoritas mereka masing-masing.
Jalan Penyelesaian & Arah ke Depan
Konflik PPP ini tidak bisa bertahan selamanya tanpa konsekuensi serius. Beberapa kemungkinan jalan keluar:
-
Islah Internal atau Forum Musyawarah Besar
Kedua kubu bisa dipanggil ke meja perundingan untuk merumuskan solusi kompromi. Salah satu opsi: penggabungan struktur atau pembagian kekuasaan sementara. -
Mahkamah Partai
PPP punya mekanisme internal (Mahkamah Partai) untuk menyelesaikan sengketa AD/ART. Keputusan mahkamah bisa menjadi dasar pengesahan pengurus yang sah. -
Intervensi Hukum & Pemerintah sebagai Penilai Netral
Pemerintah, khususnya Kemenkumham, akan menjadi penilai administratif terhadap struktur pengurus baru. Tapi pemerintah menyatakan tidak akan memihak sampai ada kepastian legal. -
Pengesahan yang Tertunda atau Ditunda
Seandainya tak ada kesepakatan, pemerintah bisa menahan pengesahan sampai masa krisis mereda, agar partai tak dirugikan dalam penggunaan fasilitas negara atau pembiayaan politik. -
Dampak Jangka Panjang
Jika konflik tidak diselesaikan, PPP bisa kehilangan reputasi, momentum politik, dan kader setia. Partai lain bisa memanfaatkan kekosongan kepemimpinan untuk menarik kader PPP.
Dalam semua skenario, “pengurus baru PPP” yang kelak diakui harus punya legitimasi kuat, baik melalui forum muktamar yang sah maupun keputusan lembaga internal partai yang kompeten. Kader, simpatisan, dan pemilih PPP berharap agar konflik ini cepat reda agar energi partai kembali fokus ke politik nasional dan persiapan pemilu.
Penutup
Konflik internal PPP saat ini bukan sekadar perseteruan kepemimpinan, melainkan ujian integritas partai berlambang Ka’bah. Di tengah pertarungan klaim antara Mardiono dan Agus Suparmanto, publik memperhatikan: siapakah pengurus baru PPP yang benar-benar sah?
Perpecahan ini membawa pelajaran bahwa kekuatan organisasi partai tak hanya dari struktur pusat, tapi juga dari keterlibatan kader daerah, transparansi, dan cara menyelesaikan konflik internal sesuai prinsip demokrasi partai.
Semoga PPP bisa melewati fase ini dengan bijak, kembali menyatukan suara, dan tampil sebagai partai yang kokoh secara ideologis serta organisatoris.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal
Baca Juga Artikel Dari: Musala Ambruk Sidoarjo: Tragedi Santri Terluka dan Pertanyaan