Pemain Judol Rugikan Bandar: Saat Sistem Dibalik dan Publik

Jakarta, incaberita.co.id – Akhir Juli 2025, suasana di Banguntapan, Bantul, Yogyakarta mendadak riuh. Bukan karena acara rakyat atau konser lokal, melainkan karena penggerebekan yang dilakukan pihak kepolisian terhadap lima orang yang diduga terlibat dalam praktik judi online. Mereka bukan bandar. Mereka bukan pemilik situs, Mereka hanyalah pemain—dan yang membuat gempar, mereka Pemain Judol Rugikan Bandar.
Nama-nama seperti RDS, NF, EN, DA, dan PA langsung ramai dibicarakan. Usia mereka masih tergolong muda, kisaran 22 hingga 32 tahun. Modus yang mereka jalankan tergolong kreatif, bahkan licik di mata sebagian pihak: membuat akun-akun baru secara masif demi memanfaatkan algoritma situs judol yang biasanya memberi peluang lebih besar menang di awal permainan.
Omzet dari kegiatan ini ditaksir mencapai puluhan juta rupiah per bulan. Mereka bahkan menggaji operator harian untuk menjalankan skema tersebut secara terorganisir. Namun, yang menjadi sorotan publik bukan cara bermainnya—melainkan alasan penangkapannya: karena dianggap merugikan bandar.
Respons Masyarakat—Ketika Logika Hukum Dipertanyakan
Image Source: Rejogja – Republika
Begitu berita penangkapan ini mencuat ke permukaan, reaksi netizen Indonesia tak bisa dibendung. Banyak yang bingung. Banyak pula yang marah. Satu pertanyaan utama menggema di jagat maya: “Kok bisa pemain ditangkap karena bikin bandar rugi?”
Penyanyi terkenal ikut angkat suara. Warganet menyerbu komentar berita. Forum-forum daring membahasnya. Bahkan sebagian komunitas hukum mulai mempertanyakan preseden yang berbahaya jika pemain dianggap bersalah hanya karena mengakali sistem permainan. Apalagi sistem itu sendiri bersumber dari praktik ilegal.
Di antara komentar yang menggelitik logika publik adalah:
“Berarti kalau maling salah sasaran dan nyolong rumah bos mafia, yang ditangkap duluan malingnya?”
Isu ini seolah menjadi bahan refleksi massal tentang bagaimana hukum dipraktikkan. Di satu sisi, judi online adalah pelanggaran hukum. Tapi jika yang ditindak justru pemain kecil, sedangkan bandar sebagai pelaku utama malah lolos dari jerat, siapa sebenarnya yang dilindungi oleh hukum?
Modus Operandi Komplotan dan Skema yang Merugikan Sistem
Kelima pelaku yang diamankan tersebut diduga menjalankan sistem “ternak akun”—sebuah metode di mana akun-akun baru dibuat setiap hari untuk mendapatkan peluang menang yang lebih besar. Akun-akun ini kemudian dimainkan dengan strategi tertentu agar menghasilkan keuntungan yang stabil.
Mereka memanfaatkan bonus sambutan, algoritma permainan yang berpihak pada akun baru, serta celah-celah sistem permainan online yang tidak didesain untuk penggunaan massal seperti itu.
Yang menarik, ini bukan hanya aksi coba-coba. Mereka bekerja dalam satu kontrakan dengan setup komputer, koneksi internet khusus, dan jadwal shift. Gaji para pemain bervariasi, tergantung hasil yang dicapai. Bos dari kelompok ini disebut mendapatkan keuntungan bersih jutaan rupiah setiap minggu.
Namun, kelompok ini tidak mengoperasikan situs. Mereka bukan bandar. Mereka juga bukan penipu, Mereka adalah pemain yang memutarbalikkan algoritma yang diciptakan bandar sendiri. Ironis, karena keberhasilan mereka justru membuat sistem judol rugi—dan akhirnya memicu penangkapan.
Dimensi Hukum—Legal Secara Tertulis, Tapi Kontroversial Secara Etika
Secara hukum positif Indonesia, praktik bermain judi—baik konvensional maupun online—merupakan pelanggaran pidana. Pasal 303 KUHP dan UU ITE jelas mengatur bahwa segala bentuk keterlibatan dalam perjudian dilarang. Pemain pun bisa dijerat, bukan hanya bandar atau pengelola.
Namun, dalam kasus ini, dasar penangkapan yang disebut-sebut karena “merugikan bandar” membuat masyarakat mempertanyakan logika moral dan etika di balik penegakan hukum tersebut.
Apakah aparat seharusnya mengejar semua pemain, bahkan ketika mereka bukan yang mengendalikan sistem?
Apakah tindakan hukum harus dimulai dari aktor terbesar—yakni bandar dan operator situs?
Dalam konteks inilah, pengacara, aktivis hukum, hingga lembaga bantuan hukum mulai angkat bicara. Beberapa menilai bahwa tindakan aparat bisa menimbulkan chilling effect—di mana masyarakat merasa hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Bahkan ada yang menuduh bahwa sistem hukum terlalu reaktif terhadap pihak kecil, dan cenderung abai terhadap struktur besar yang sulit disentuh.
Dampak Sosial dan Potensi Refleksi bagi Penegakan Hukum
Kasus ini menyisakan lebih dari sekadar rasa bingung. Ia mencerminkan kerapuhan sistem penegakan hukum digital, serta belum kuatnya strategi pemerintah dalam menangani akar masalah dari perjudian daring.
Di sisi lain, kejadian ini membuka diskusi baru di masyarakat:
-
Bahwa penindakan hukum harus mengedepankan proporsionalitas: siapa yang membuat sistem, siapa yang memanipulasi, dan siapa yang dirugikan secara struktural.
-
Bahwa edukasi digital dan literasi finansial belum merata. Banyak masyarakat tergiur untuk bermain karena alasan ekonomi, bukan karena kesadaran kriminal.
-
Bahwa peran negara dalam melindungi masyarakat dari jerat sistem judi online harus dimulai dari penutupan situs, penangkapan operator, hingga pemutusan jaringan.
Tanpa itu semua, yang terjadi hanyalah drama berulang: pemain ditangkap, bandar tetap kaya, dan masyarakat semakin tak percaya pada sistem hukum.
Penutup: Saat Hukum Perlu Lebih Adil dan Menyasar Akar Masalah
Penangkapan lima pemain judol di Yogyakarta bukan cuma soal angka, nama, atau strategi permainan. Ia menyimpan peringatan penting bagi pemerintah, aparat, dan masyarakat: bahwa penegakan hukum harus adil, menyeluruh, dan menyasar akar kejahatan.
Jika yang ditangkap adalah pemain, sementara bandar tetap bebas berkeliaran dan mengendalikan sistem dari jauh, maka kita bukan sedang memberantas kejahatan—kita hanya sedang mencabut ranting, bukan akarnya.
Keadilan bukan hanya soal prosedur, tapi juga soal rasa. Dan rasa keadilan itu kini sedang diuji, ketika pemain yang merugikan bandar justru diperlakukan seolah-olah ia adalah ancaman utama negara.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal
Baca Juga Artikel Dari: Tim KPK Masih Buru Harun Masiku Berdasarkan Laporan Masyarakat