July 16, 2025

INCA BERITA

Berita Terkini Seputar Peristiwa Penting di Indonesia dan Dunia

Menteri HAM Kasus Perusakan Retret Sukabumi: Ujian Kebebasan

Mentri HAM Buka Soal Terkait Kasus Perusakan Rumah Retret di Sukabumi

Jakarta, incaberita.co.id – Dalam lanskap demokrasi Indonesia yang sedang berbenah, kejadian di Sukabumi ini seperti sirine keras yang menyadarkan kita semua: toleransi bukan sekadar jargon. Pada suatu sore yang tenang di bulan Mei 2024, sekelompok massa mendatangi sebuah rumah retret milik institusi Katolik di Sukabumi. Mereka tidak datang membawa damai. Teriakan, ancaman, dan aksi merusak fasilitas membuat tempat yang seharusnya menjadi ruang kontemplatif justru menjadi lokasi ketegangan sosial.

Saya sebagai pembawa berita yang telah meliput berbagai isu sosial dan hak asasi manusia di tanah air, merasa kejadian ini bukan sekadar insiden. Ini adalah potret tentang bagaimana masyarakat dan negara memperlakukan minoritas dan keyakinan yang berbeda. Dan tentu saja, semua mata tertuju pada Menteri HAM.

Di tengah sorotan publik dan derasnya arus media sosial, tanggapan dari pemerintah—khususnya Kementerian Hukum dan HAM—menjadi tolok ukur keberpihakan terhadap konstitusi dan kemanusiaan.

Kronologi Kasus: Dari Doa Damai ke Kepungan Massa

Menteri HAM

Image Source: Kompas.com

Rumah retret yang diserang ini berada di pinggiran kota Sukabumi, lebih tepatnya di desa yang selama ini dikenal cukup tenang. Pemilik rumah adalah seorang rohaniwan Katolik yang sudah lama menggunakan tempat itu untuk kegiatan rohani seperti retret, seminar keagamaan, hingga pelayanan sosial. Bukan tempat ibadah formal. Tapi sejak awal, memang ada sedikit gesekan dengan sebagian warga.

Menurut laporan dari media lokal dan wawancara langsung dengan pihak gereja, kericuhan bermula dari kabar bahwa rumah tersebut akan dijadikan “gereja terselubung.” Informasi yang belum terverifikasi ini menyebar cepat di media sosial dan grup WhatsApp warga. Entah siapa yang memulai, tapi tensi meningkat dengan cepat.

Tanggal 17 Mei 2024, sekitar pukul 16.00 WIB, sekelompok orang mendatangi rumah retret tersebut. Beberapa membawa spanduk, sebagian memaksa masuk. Tidak ada korban jiwa, tapi properti rusak: jendela pecah, pintu dirusak, dan barang-barang dilempar keluar.

Yang lebih menyedihkan, beberapa warga sekitar justru hanya menonton tanpa melakukan apapun. “Kami takut, Mas. Kalau ikut melarang, nanti kami juga diancam,” kata seorang warga yang kami wawancarai secara anonim.

Reaksi Cepat dan Tertunda: Pemerintah Di Antara Dua Tekanan

Begitu video kerusuhan tersebar di media sosial, respons masyarakat luas muncul dalam dua kubu: satu yang mengutuk aksi intoleransi, dan satu lagi yang membenarkan dengan alasan “gangguan ketenangan warga.”

Tapi publik menunggu satu hal utama: tanggapan dari Menteri Hukum dan HAM.

Baru dua hari setelah kejadian, Menteri HAM akhirnya menyampaikan pernyataan resmi. Dalam konferensi pers terbatas, beliau menyebut bahwa “Negara menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan tidak akan mentolerir tindakan main hakim sendiri.”

Namun, sebagian netizen dan pengamat menilai pernyataan itu terlalu normatif. Tidak ada langkah konkret yang diumumkan, seperti pengawalan hukum, investigasi khusus, atau perlindungan terhadap pemilik rumah retret.

“Kalau Menteri HAM cuma bilang ‘negara menjamin’, itu artinya copy-paste dari UUD. Kita butuh aksi nyata,” ujar seorang aktivis HAM dari Yogyakarta yang rutin memantau kasus-kasus intoleransi di Jawa Barat.

Pihak Kementerian HAM juga menyatakan sedang berkoordinasi dengan Kepolisian dan Kementerian Dalam Negeri. Tapi hingga sebulan berlalu, belum ada kabar lanjutan tentang proses hukum terhadap pelaku pengrusakan.

Dimensi Hukum dan HAM: Antara UU dan Ketegangan Sosial

Kalau bicara dari sisi hukum, kasus ini sebenarnya sangat jelas.

Pasal 29 UUD 1945 menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Sementara Pasal 156a KUHP mengatur tentang penodaan agama, yang justru sering digunakan secara sepihak untuk menjerat minoritas.

Ironisnya, saat rumah retret dirusak, tidak ada proses hukum terhadap pelaku. Polisi berdalih bahwa mereka sedang melakukan pendekatan “persuasif” agar kondisi tidak makin panas. Tapi apakah hukum harus tunduk pada tekanan massa?

Dalam banyak kasus, ini bukan pertama kalinya. Berdasarkan data dari beberapa lembaga HAM seperti Setara Institute dan Wahid Foundation, intoleransi terhadap kelompok agama minoritas meningkat hampir 18% di tahun 2023–2024. Jawa Barat, termasuk Sukabumi, kerap masuk dalam zona merah karena tingginya insiden penolakan rumah ibadah non-muslim.

Apakah ini kegagalan sistem atau karena pembiaran? Beberapa aktivis percaya bahwa ada pola struktural yang membuat aparat cenderung diam jika pelaku intoleransi berasal dari kelompok dominan secara sosial.

Suara dari Lapangan: Kesaksian, Rasa Takut, dan Harapan

Dalam kunjungan singkat saya ke lokasi, suasana desa masih terasa tegang. Rumah retret itu kini kosong, tidak lagi ada kegiatan. Sang rohaniwan mengungsi ke kota terdekat dan belum kembali.

Seorang pemuda lokal bernama Yusuf, yang sehari-hari bekerja sebagai montir, mengaku prihatin. “Saya tahu tempat itu. Mereka nggak pernah ganggu siapa-siapa. Malah sering kasih makanan ke warga kalau ada acara. Tapi ya, Mas, di kampung kayak gini, gosip itu bisa jadi api.”

Ada juga Ibu Lilis, yang sempat ikut pelatihan kerajinan tangan di rumah retret tersebut. “Saya sendiri muslim, tapi saya nggak pernah merasa dirugikan. Mereka malah ngajarin bikin keranjang anyaman yang bisa saya jual.”

Suara-suara seperti ini penting. Tapi sering kali tenggelam oleh narasi yang dibangun oleh segelintir orang yang bersuara paling keras. Padahal, mayoritas warga sebenarnya ingin damai. Hanya saja, suara mereka kalah keras dari megafon kelompok provokatif.

Membangun Ulang Kepercayaan dan Tindakan Nyata ke Depan

Peristiwa ini membuka kembali luka lama. Tapi di saat yang sama, juga menjadi peluang bagi pemerintah—terutama Menteri HAM—untuk membuktikan keberpihakan mereka.

Berikut beberapa hal konkret yang bisa dilakukan:

1. Penyelidikan Independen

Libatkan Komnas HAM, ormas keagamaan moderat, dan tokoh masyarakat untuk mengusut kasus ini dengan pendekatan hukum dan budaya.

2. Restorative Justice

Bukan berarti pelaku bebas, tapi ajak dialog antara komunitas lokal dan pihak rumah retret dengan pendampingan pihak netral. Damai itu bukan sekadar “beres”, tapi juga menyembuhkan luka.

3. Pendidikan Toleransi di Akar Rumput

Libatkan sekolah, pesantren, dan organisasi kepemudaan. Intoleransi itu lahir dari ketidaktahuan dan ketakutan. Maka, pendidikan lintas agama jadi penting, bukan cuma di kota besar.

4. Kebijakan Tegas dari Kementerian

Menteri HAM bisa mendorong Peraturan Bersama Tiga Menteri (PBM) tentang rumah ibadah direvisi agar tidak lagi bias terhadap minoritas. Ini saatnya UU menjamin praktik di lapangan.

5. Perlindungan Aktif terhadap Korban

Berikan jaminan keamanan, pemulihan psikologis, dan bantuan hukum kepada pemilik rumah retret. Jangan sampai mereka merasa ditinggalkan oleh negara.

Penutup: Ini Bukan Soal Agama, Tapi Soal Kemanusiaan

Kasus perusakan rumah retret di Sukabumi harus menjadi titik balik, bukan sekadar catatan kaki dalam berita harian. Ini adalah ujian serius bagi negara hukum dan semangat pluralisme Indonesia.

Tugas Menteri HAM bukan hanya menyebutkan pasal, tapi memastikan bahwa pasal-pasal itu hidup dan melindungi setiap warga, apapun agamanya. Dan tugas kita semua—media, masyarakat, dan netizen—adalah menjaga agar suara minoritas tidak dibungkam oleh kebisingan mayoritas.

Karena ketika satu tempat damai dihancurkan oleh kebencian, kita semua kehilangan sedikit dari nilai kemanusiaan yang kita banggakan sebagai bangsa.

Dan ingat, toleransi bukan kompromi. Tapi keberanian untuk membela hak orang lain, bahkan saat keyakinan kita berbeda.

Baca Juga Artikel dari: Video Viral: Ayah Aniaya Anak di Purwakarta, Tindakan Keji yang Mengguncang Publik

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal

Author

Copyright @ 2025 Incaberita. All right reserved