Kronologi Aksi Unisba: Dari Kampus ke Jalanan, Suara Mahasiswa

Jakarta, incaberita.co.id – Sore itu, suasana kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) terlihat biasa. Mahasiswa berseliweran, sebagian baru selesai kuliah, sebagian nongkrong di kantin sambil membahas isu-isu nasional. Tapi di balik rutinitas itu, sebuah rencana besar sedang disusun: Kronologi Aksi Unisba.
Gerakan ini tidak muncul tiba-tiba. Menurut catatan lapangan, embrionya sudah lahir dari diskusi kecil di ruang organisasi mahasiswa. Isunya macam-macam: kenaikan biaya kuliah, transparansi anggaran kampus, hingga isu nasional yang membakar semangat mahasiswa, seperti problem demokrasi dan kebijakan pemerintah yang dirasa tidak pro-rakyat.
Salah satu mahasiswa yang ikut dalam rapat internal, sebut saja Rafi, menceritakan, “Awalnya kami cuma ngobrol santai, tapi lama-lama sadar, kalau cuma diam, gak ada yang berubah. Dari situ, ide aksi mulai dibicarakan.”
Poster digital mulai beredar di grup WhatsApp dan media sosial. Tidak frontal, tapi cukup untuk mengundang rasa penasaran. Slogan-slogan sederhana seperti “Mahasiswa Bersatu untuk Perubahan” atau “Suara Kampus, Suara Rakyat” mendadak menghiasi linimasa.
Hari H – Titik Kumpul dan Persiapan
Image Source: Tempo.co
Tanggal aksi ditentukan. Mahasiswa Unisba sepakat turun dengan membawa aspirasi yang jelas: menolak segala bentuk kebijakan yang merugikan mahasiswa dan masyarakat.
Pagi itu, area kampus di Tamansari mulai ramai. Mahasiswa berkumpul di titik-titik strategis: depan gerbang utama, halaman fakultas, hingga area parkiran yang disulap jadi lapangan apel.
Spanduk besar terbentang dengan tulisan tebal: “Kronologi Aksi Unisba: Dari Mahasiswa untuk Rakyat”.
Ada yang membawa poster karton dengan tulisan sindiran, ada pula yang menyiapkan orasi dengan toa sederhana. Suara genderang dari kaleng bekas mulai ditabuh, memberi ritme pada langkah mereka.
Tak hanya mahasiswa laki-laki, banyak mahasiswi juga ikut turun. Mereka membawa air mineral, perban, hingga bungkusan nasi untuk logistik aksi. “Kalau lapar di jalan, minimal ada tenaga buat teriak,” celetuk seorang mahasiswi sambil tertawa.
Dari titik kampus, massa aksi mulai berjalan kaki menuju pusat kota. Barisan rapi, sebagian mengenakan almamater biru tua khas Unisba, sebagian lagi dengan pakaian bebas tapi tetap membawa identitas kampus.
Orasi di Jalanan – Suara Menggema
Sesampainya di titik aksi utama, biasanya dekat gedung pemerintahan atau kawasan alun-alun, atmosfer berubah jadi lebih serius. Suara orasi menggema, diselingi dengan yel-yel mahasiswa.
“Hidup mahasiswa! Hidup rakyat!” teriak salah satu orator dengan lantang, disambut pekikan ribuan suara yang membahana.
Isu yang diangkat bukan hanya soal internal kampus. Mahasiswa Unisba menuntut transparansi kebijakan pendidikan nasional, menolak kebijakan pemerintah yang dinilai menyulitkan rakyat kecil, dan mendukung agenda reformasi hukum yang lebih adil.
Tak jarang, orasi diselipi humor satir. Seorang mahasiswa berkata, “Kami ini mahasiswa, bukan ATM berjalan. Bayaran naik, fasilitas tetap segitu-gitu aja. Ini gimana ceritanya?” Kalimat itu langsung disambut gelak tawa sekaligus tepuk tangan meriah.
Aksi berlangsung damai, meski ketegangan kadang muncul ketika aparat kepolisian mulai membentuk barisan pengamanan. Tapi mahasiswa Unisba tetap menekankan prinsip damai, hanya menggunakan suara dan kreativitas sebagai senjata.
Reaksi Publik dan Media
Kronologi aksi Unisba tak hanya berhenti di jalanan. Media lokal mulai meliput, beberapa stasiun televisi nasional ikut menyorot. Gambar mahasiswa dengan almamater biru tua memenuhi layar, membawa pesan bahwa kampus ini bukan sekadar menara gading, tapi juga pusat gerakan sosial.
Masyarakat sekitar memberi respons beragam. Ada pedagang kaki lima yang senang karena dagangannya laris diborong mahasiswa. Ada juga pengendara yang kesal karena jalanan macet akibat aksi. Tapi, tak sedikit yang memberikan semangat, bahkan ikut membagikan air minum gratis untuk mahasiswa.
Di media sosial, tagar #AksiUnisba sempat trending di kota Bandung. Foto dan video singkat yang diunggah mahasiswa menyebar cepat, memicu diskusi hangat. Sebagian netizen memuji keberanian mahasiswa yang kembali menghidupkan tradisi kritis. Sebagian lain mempertanyakan efektivitas aksi di jalanan.
Setelah Aksi – Evaluasi dan Dampak
Setiap aksi selalu punya akhir. Malam harinya, mahasiswa kembali ke kampus atau sekretariat organisasi untuk melakukan evaluasi. Ada rasa lelah, tapi juga bangga.
“Kami mungkin belum mengubah kebijakan besar, tapi setidaknya suara kami terdengar. Itu yang penting,” ujar seorang mahasiswa dalam forum evaluasi.
Dampak nyata dari aksi Unisba mulai terasa beberapa hari kemudian. Pihak rektorat kampus merespons dengan mengadakan dialog terbuka soal isu internal. Sementara itu, media terus menyoroti isu yang dibawa mahasiswa, membuat pejabat pemerintahan setidaknya “gelisah” dengan suara dari Bandung.
Lebih jauh, aksi ini meneguhkan kembali posisi mahasiswa sebagai agent of change. Bahwa di tengah apatisme politik yang sering dituduhkan pada generasi muda, masih ada segelintir orang yang berani menyuarakan kepentingan banyak orang.
Penutup – Aksi sebagai Warisan
Kronologi aksi Unisba bukan hanya catatan tentang demo sehari. Ia adalah simbol, warisan gerakan mahasiswa Indonesia yang sejak lama menjadi penyeimbang kekuasaan.
Dari ruang kelas yang tenang, ke jalanan yang penuh teriakan, hingga ruang dialog yang kembali membuka pintu perubahan—aksi ini menunjukkan bahwa suara mahasiswa masih relevan.
Di masa depan, mungkin isu akan berganti, dari ekonomi, politik, hingga lingkungan hidup. Namun satu hal yang tidak berubah: mahasiswa akan terus hadir, membawa idealisme, keberanian, dan semangat untuk memperjuangkan kebenaran.
Seperti yang pernah dikatakan seorang orator muda Unisba di tengah panas terik siang itu, “Kami mungkin hanya mahasiswa. Tapi ingat, dari mahasiswa lahir gerakan, dari gerakan lahir perubahan.”
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal
Baca Juga Artikel Dari: Musisi Indonesia Kompak Gaungkan Gerakan Reset Indonesia!