Ketika Debt Collector Viral: Antara Ketegasan dan Kekerasan

Jakarta, incaberita.co.id – Debt Collector Viral, seorang pria paruh baya merangkul motornya sambil menangis, sementara dua orang berjaket kulit memaksanya menyerahkan kendaraan. Terjadi keributan kecil, suara warga sekitar pun mulai ikut-ikutan berteriak, hingga akhirnya video itu viral di TikTok dan Twitter dengan tagar #DebtCollector.
Fenomena ini bukan pertama kalinya. Tapi kali ini, ada yang berbeda: masyarakat mulai mempertanyakan, “Ini masih bagian dari hukum atau sudah masuk ranah premanisme?”
Video seperti ini muncul nyaris setiap bulan. Entah itu tentang emak-emak yang motornya ditarik saat antar anak sekolah, atau tentang supir ojol yang kehilangan kendaraan satu-satunya. Ironisnya, semakin sering kejadian itu viral, semakin kabur batas antara prosedur hukum dan main hakim sendiri.
Dan itulah yang membuat topik viral Debt Collector Viral ini penting untuk dikupas. Tidak sekadar drama internet, tapi soal nasib, regulasi, dan moralitas dalam sistem finansial kita.
Apa dan Siapa Sebenarnya Debt Collector Viral Itu?
Image Source: Youtube Media Sriwijaya
Sebelum kita ikut-ikutan marah atau membela, yuk kita luruskan dulu: siapa sih sebenarnya Debt Collector Viral itu?
Secara formal, debt collector atau penagih utang adalah pihak ketiga yang ditunjuk oleh lembaga pembiayaan (leasing, bank, fintech, dsb) untuk menagih kewajiban debitur yang menunggak. Mereka bisa individu independen atau bagian dari agensi penagihan.
Tapi di lapangan? Realitanya lebih kompleks.
Banyak Debt Collector Viral tidak memiliki pelatihan hukum, bahkan tak sedikit yang bekerja tanpa legalitas jelas. Ini bukan asumsi—data OJK pernah menunjukkan bahwa mayoritas laporan keluhan terkait debt collector berasal dari praktik penarikan kendaraan tanpa surat resmi atau tanpa keterlibatan pihak leasing.
Dan masalahnya, masyarakat tidak tahu harus lapor ke siapa. Polisi? OJK? Lembaga Perlindungan Konsumen?
Kebingungan inilah yang akhirnya menciptakan ruang abu-abu—di mana penagihan bisa bergeser dari tindakan hukum menjadi intimidasi sosial.
Kenapa Debt Collector Viral?
Kenapa video debt collector cepat sekali viral? Jawabannya sederhana: karena menyentuh rasa ketidakadilan publik.
Ketika warga biasa, seperti ibu rumah tangga atau ojek online, terlihat dipaksa menyerahkan motor atau mobilnya dengan cara kasar, insting kolektif kita langsung bereaksi. Apalagi jika yang menagih tampil bak preman: badan besar, nada tinggi, dan ancaman verbal. Warga langsung ambil HP, rekam, dan unggah ke media sosial. Boom! Viral.
Tapi ini bukan semata soal emosi. Ini tentang narasi.
Dalam banyak kasus viral, debt collector selalu kalah dalam narasi. Mereka digambarkan sebagai tokoh antagonis yang “jahat”, padahal belum tentu semua penagihan itu ilegal.
Beberapa agensi bahkan sudah mulai mengedukasi tim mereka agar lebih humanis dan taat SOP. Tapi yang viral tentu bukan yang sopan, melainkan yang brutal.
Dan dalam dunia algoritma, emosi negatif menyebar lebih cepat daripada fakta yang seimbang.
Penagihan Utang di Mata Hukum Indonesia
Nah, mari kita masuk ke bagian yang serius tapi penting: aspek hukum.
Menurut Peraturan OJK Nomor 35/POJK.05/2018, pihak leasing hanya boleh menggunakan Debt Collector Viral yang memiliki sertifikat pelatihan profesi penagihan. Bahkan ada aturan tegas bahwa penarikan kendaraan hanya boleh dilakukan jika sudah ada putusan pengadilan, atau debitur secara sukarela menyerahkan.
Tapi di lapangan? Banyak kasus penarikan paksa dilakukan hanya berdasarkan “SP Surat Penarikan” internal yang bahkan tidak ditandatangani pejabat resmi.
Kasus viral Debt Collector Viral juga sering memperlihatkan pelanggaran pasal KUHP tentang perampasan, intimidasi, bahkan pemerasan. Tapi jarang yang benar-benar masuk ke ranah pidana—karena banyak korban takut, malas ribet, atau tidak tahu haknya.
Di sisi lain, ada juga debitur yang ngotot tidak mau bayar, bahkan setelah jatuh tempo 6 bulan. Maka terjadilah benturan antara dua pihak yang sama-sama merasa benar.
Solusinya? Edukasi. Baik untuk si penagih, si tertagih, maupun masyarakat sebagai saksi sosial.
Ketika Video Viral Jadi Titik Balik
Beberapa kasus viral ternyata membawa perubahan.
Contohnya, pada awal 2023, kasus seorang ojek online yang motornya ditarik secara kasar oleh debt collector akhirnya membuat leasing tempat dia berutang mengeluarkan pernyataan resmi. Mereka mengakui prosedur salah, memecat agensi penagih, dan mengembalikan kendaraan.
Sementara itu, pada pertengahan 2024, video viral debt collector di Medan mendorong DPRD setempat mengusulkan regulasi daerah tentang standardisasi Debt Collector Viral.
Artinya, tekanan publik melalui viralitas digital bisa mengubah sistem—asal kita tahu bagaimana menggunakannya secara tepat.
Tapi tetap hati-hati. Tidak semua yang viral itu valid. Ada juga video setting-an atau framing yang menyesatkan. Maka penting untuk tetap kritis dan tidak langsung menghakimi satu sisi.
Refleksi Personal dan Harapan
Sebagai jurnalis yang pernah menyaksikan langsung praktik penagihan di lapangan, saya melihat sendiri betapa rumitnya situasi ini. Di satu sisi, ada leasing yang harus menjaga cash flow. Di sisi lain, ada rakyat kecil yang berjuang hidup hari per hari.
Saya ingat satu momen saat ikut tim investigasi ke Bekasi, menyamar sebagai warga. Kami melihat penagih datang bukan untuk marah-marah, tapi untuk diskusi. Ia duduk di depan warung kopi, ngobrol baik-baik, bahkan memberikan opsi restrukturisasi utang.
Sayangnya, video seperti ini jarang diangkat. Tak cukup “drama” untuk jadi viral.
Ke depan, saya berharap:
-
OJK dan kepolisian memperjelas SOP penagihan yang bisa diakses publik.
-
Agensi penagihan diwajibkan memiliki lisensi dan rekam jejak online.
-
Media sosial tidak hanya jadi arena menghakimi, tapi juga mendidik.
Dan untuk kita sebagai masyarakat? Jangan hanya jadi penonton viral. Jadilah bagian dari solusi. Edukasi diri, sebarkan informasi yang benar, dan jangan biarkan emosi mengaburkan fakta.
Penutup: Di Balik Semua Viral, Ada Manusia
Fenomena viral Debt Collector Viral di Indonesia adalah cermin. Ia memperlihatkan bagaimana sistem keuangan, hukum, dan moral publik bertabrakan dalam ruang digital.
Ya, beberapa debt collector memang kasar. Tapi tidak semua. Beberapa debitur memang bandel. Tapi tidak semua.
Di balik semua itu, selalu ada manusia—dengan cerita, kesulitan, dan dilema.
Maka sebelum kita menekan tombol “share”, mari tanyakan pada diri sendiri: apakah ini akan memperbaiki keadaan atau justru memperkeruhnya?
Karena viral bisa jadi awal perubahan. Tapi bisa juga jadi awal kehancuran, jika tanpa kesadaran.
Baca Juga Artikel dari: Bandara Kertajati Bikin Jabar Nombok 60m Pertahun!
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal