Jakarta Walking Tour Festival: Merayakan Kota dengan Langkah, Cerita, dan Denyut Budaya Urban
Jakarta, incaberita.co.id – Setiap kota besar memiliki cara unik untuk menunjukkan identitasnya. Paris punya festival seni jalanan, Tokyo punya pasar malam digital, dan Jakarta—sebuah kota penuh sejarah, hiruk pikuk, dan manusia dari beragam latar belakang—punya Jakarta Walking Tour Festival. Festival ini bukan sekadar acara jalan kaki. Ia adalah perjalanan pelan tapi bermakna untuk mendengarkan cerita kota, memahami warisan budaya, dan merasakan Jakarta dari perspektif yang lebih dekat dan lebih manusiawi.
Sebagai jurnalis yang sudah beberapa kali meliput festival kota dan kegiatan public engagement, Jakarta Walking Tour Festival adalah salah satu yang selalu sukses mencuri perhatian saya. Bukan hanya karena acaranya ramai atau rutenya menarik, tetapi karena festival ini menyatukan hal-hal kecil yang sering kita lewatkan: detail bangunan tua, suara pedagang kaki lima, aroma makanan khas Betawi, percakapan warga sekitar, hingga momen yang membuat kita berhenti sejenak dan berkata, “Oh, ternyata Jakarta punya sisi seperti ini.”
Dalam artikel ini, saya akan membahas festival ini secara menyeluruh—menyusuri sejarahnya, konsepnya, pengalaman lapangan, hingga dampak sosialnya. Semua dikemas dalam gaya naratif agar ceritanya mengalir alami dan mudah dipahami, layaknya saya mengajak Anda berjalan bersama di tengah Festival.

Image Source: Beritajakarta.id
Meski Jakarta dikenal sebagai kota padat dengan lalu lintas yang sering tak bersahabat, banyak aktivis urban dan pegiat sejarah percaya bahwa kota ini punya keindahan yang hanya bisa dirasakan ketika kita berjalan kaki. Gagasan ini kemudian menjadi bibit pertama lahirnya Jakarta Walking Tour Festival.
Beberapa tahun lalu, saya mewawancarai seorang kurator sejarah perkotaan yang turut menggagas festival ini. Ia mengaku bahwa idenya muncul saat ia melihat turis asing berjalan tanpa tujuan di Kota Tua sambil kebingungan membaca papan informasi yang terbatas. Di sisi lain, banyak warga lokal yang bahkan tidak tahu gedung-gedung bersejarah di sekitar mereka.
“Jakarta itu kota penuh cerita. Sayangnya, kita terlalu cepat bergerak hingga lupa melihat detailnya,” katanya sambil tersenyum penuh makna.
Dari obrolan itu, saya memahami bahwa festival ini diciptakan untuk:
Mengajak warga mencintai kotanya dengan cara paling sederhana
Melestarikan sejarah dan budaya
Menghidupkan ruang publik
Mendorong wisata slow travel di tengah kota besar
Menyambungkan kembali manusia dengan lingkungan urban
Jakarta Walking Tour Festival kemudian dirancang sebagai agenda tahunan dengan konsep tematik yang berubah setiap tahun, mengikuti isu kota, perkembangan budaya, dan respons masyarakat.
Festival ini biasanya berlangsung beberapa hari hingga beberapa minggu, tergantung penyelenggaraan tahun tersebut. Yang menarik, setiap rute walking tour memiliki tema berbeda dan dipandu oleh individu kompeten: ahli sejarah, arsitek, budayawan, jurnalis, hingga warga lokal yang hafal seluk-beluk lingkungannya.
Konsep-konsep yang pernah muncul antara lain:
Menelusuri gedung-gedung VOC, museum, jembatan tua, hingga sudut-sudut berumur ratusan tahun.
Iring-iringan seni, kisah kuliner, dan cerita keluarga Betawi yang sudah turun temurun tinggal di kawasan tersebut.
Membahas sejarah perdagangan, rumah toko, kuil tua, dan kisah diaspora Tionghoa.
Menyusuri tempat lahirnya musisi legendaris, studio tua, hingga galeri seni kecil yang sering luput dari perhatian.
Melihat wajah Jakarta masa kini: gedung pencakar langit, MRT, jalur sepeda, dan ruang publik baru.
Setiap rute bukan hanya menunjukkan lokasi, tetapi menyisipkan cerita—tentang siapa yang pernah tinggal di sana, kejadian besar apa yang pernah terjadi, hingga bagaimana tempat itu berubah dari masa ke masa.
Seorang peserta walking tour pernah berkata kepada saya, “Rasanya seperti membaca buku sejarah, tapi langsung di lokasi kejadian.” Itu mungkin pujian paling pas untuk festival ini.
Meliput Jakarta Walking Tour Festival bukan sekadar liputan biasa. Ia seperti perjalanan introspektif. Kamu tidak hanya menulis, tapi juga merasakan denyut kota secara langsung.
Saya masih ingat salah satu rute yang paling membekas: Walking Tour Glodok Heritage Route. Hari itu cuacanya hangat, aroma herbal dari toko obat Cina langsung menyapa ketika kami memasuki area Pancoran. Panduan kami—seorang sejarawan yang berhumor santai—menceritakan bagaimana kapal dagang dari berbagai negara dulu bersandar dan membentuk kultur perdagangan di kawasan ini.
Kami berhenti di sebuah klenteng tua yang kuil-kuilnya berwarna merah menyala. Seorang ibu penjaga kuil bercerita bahwa keluarganya sudah menjaga tempat itu selama tiga generasi. Ceritanya mengalir seperti novel: tentang perang, perayaan, hingga masa pandemi yang membuat kuil sepi.
Di perjalanan itu pula, saya melihat pedagang kue keranjang yang sedang mengemas dagangannya. Ia bercerita bahwa omsetnya meningkat saat festival, sebab banyak peserta walking tour yang mampir.
Momen-momen kecil seperti ini memperlihatkan bahwa walking tour bukan hanya tentang tempat, melainkan tentang orang-orang dan kisah yang membangun Jakarta.
Jika dilihat dari perspektif industri pariwisata modern, festival ini punya dampak sangat positif.
Tidak semua wisatawan datang untuk mall atau pusat perbelanjaan. Banyak yang kini memilih pengalaman lokal yang lebih autentik.
Dalam festival, peserta biasanya berhenti di warung kaki lima, membeli jajanan tradisional, atau belanja suvenir lokal.
Pedagang kue rangi di Cikini pernah berkata kepada saya, “Kalau ada walking tour, dagangan saya bisa habis dua kali lipat.”
Walking tour mendorong generasi muda untuk belajar sejarah secara menyenangkan.
Hal ini penting karena Jakarta masih punya PR besar dalam menyediakan infrastruktur pejalan kaki.
Dari festival ini lahir banyak komunitas baru yang aktif melakukan tur gratis atau terjadwal setiap bulan.
Dampak sosialnya juga terasa. Banyak peserta yang setelah ikut festival mengatakan bahwa mereka merasa lebih “nyambung” dengan kotanya.
Tidak semua rute populer secara merata, tetapi ada beberapa yang hampir selalu penuh slotnya.
Rute klasik dengan pemandangan:
Fatahillah
Kali Besar
Museum Bank Indonesia
Gedung-gedung kolonial
Panduan biasanya bercerita tentang masa perdagangan rempah dan kehidupan sosial Batavia abad ke-17.
Rute penuh aroma, warna, dan cerita.
Menyorot rumah-rumah kuno, taman kota, dan kawasan elite yang sarat sejarah politik.
Banyak yang tidak tahu bahwa beberapa musisi legendaris Indonesia berasal dari kawasan ini.
Melihat ruang publik baru seperti:
Gelora Bung Karno
JPO estetik
Titik-titik foto favorit anak muda
Sebagai jurnalis, rute favorit saya adalah Menteng Heritage Walk karena memberikan gambaran hidup tentang perkembangan politik dan budaya Indonesia di era 1950-an sampai 80-an.
Meski festival ini sukses besar, bukan berarti tanpa hambatan.
Terkadang hujan deras mengubah rencana rute.
Masih banyak trotoar yang belum ramah pejalan kaki.
Antusiasme tinggi membuat slot sering habis dalam hitungan menit.
Festival melewati permukiman atau area bisnis, sehingga harus tetap menghormati kegiatan warga.
Namun semua tantangan ini sering teratasi berkat dukungan komunitas, pemerintah, dan partisipasi masyarakat yang makin tinggi.
Berdasarkan tren pariwisata global dan liputan dari berbagai media, konsep urban walking tour semakin populer. Banyak kota besar memanfaatkan tur berjalan kaki sebagai sarana:
edukasi
konservasi budaya
promosi wisata
pemberdayaan ekonomi lokal
Jakarta pun memiliki potensi besar untuk terus memperluas festival ini. Beberapa ide masa depan yang pernah dibahas dalam diskusi komunitas:
rute malam hari (night heritage walk)
walking tour kuliner Betawi
rute lanskap seni mural dan grafiti
rute ruang publik baru Jakarta seperti Hutan Kota GBK
tur bertema fotografi atau arsitektur
Dengan perkembangan transportasi seperti MRT, LRT, dan jalur sepeda, Jakarta semakin siap menjadi kota yang memprioritaskan pengalaman berjalan kaki yang nyaman dan edukatif.
Setelah meliput festival ini beberapa kali, saya belajar satu hal penting: mencintai kota tidak selalu harus dengan cara besar. Kadang cukup dengan melangkah pelan, membuka mata, mendengar cerita, dan membiarkan kota berbicara.
Jakarta Walking Tour Festival bukan hanya tentang mengenal sejarah. Ini tentang:
merayakan keberagaman
mendukung ekonomi lokal
memperkuat hubungan antarwarga
menjelajahi identitas Jakarta dari dekat
menemukan keindahan di tempat yang sering kita anggap biasa
Dengan festival ini, Jakarta bukan lagi kota yang hanya kita lewati. Ia menjadi kota yang kita hayati.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal
Baca Juga Artikel Dari: Cloudflare Mengakuisisi Replicate: Strategis yang Mengubah Cloud