September 22, 2025

INCA BERITA

Berita Terkini Seputar Peristiwa Penting di Indonesia dan Dunia

Istri Brigadir Nurhadi Terima Uang Damai: Kami Ingin Keadilan

Jakarta, incaberita.co.id – Pagi itu mendung menggantung di atas rumah keluarga Nurhadi di sudut kecil sebuah perumahan di pinggiran kota. Tak ada tanda-tanda keramaian, tak ada karangan bunga seperti dulu saat berita kematian Brigadir Nurhadi mencuat di media. Tapi hari itu, sang Istri Brigadir Nurhadi — Sulastri — akhirnya angkat bicara.

“Ini bukan soal uang. Ini soal harga diri suami saya yang tercoreng. Kami tidak menerima uang damai, dan tidak akan pernah menukar keadilan dengan materi,” ujarnya lirih namun tegas saat ditemui awak media di depan rumahnya.

Nama Brigadir Nurhadi kembali mencuat setelah beberapa waktu tenggelam oleh pemberitaan politik dan ekonomi nasional. Kasus dugaan penganiayaan dan kematian misterius yang melibatkan anggota kepolisian lain ini menyisakan tanya besar. Tapi kali ini, bukan penyidik atau ahli forensik yang bicara. Suara itu datang dari rumah — dari seorang istri yang sedang berjuang mempertahankan martabat keluarganya.

Anekdot yang beredar menyebutkan bahwa Sulastri sempat ditawari “uang damai” dalam bentuk transfer senyap, bahkan ada kabar burung tentang rumah baru yang diberikan oleh seseorang misterius. Namun, perempuan 34 tahun itu membantah keras. “Saya masih tinggal di sini, rumah yang kami cicil bersama. Tidak ada rumah baru. Tidak ada uang masuk yang saya terima dari pihak mana pun.”

Pernyataan ini memicu gelombang empati di media sosial. Banyak yang menyebut keberanian Sulastri sebagai bentuk perlawanan dari rakyat kecil terhadap sistem yang kerap kali tidak berpihak pada mereka.

Kilas Balik Kasus — Siapa Brigadir Nurhadi dan Mengapa Namanya Jadi Sorotan?

Istri Brigadir Nurhadi

Image Source: Tribuntoraja.com

Brigadir Nurhadi bukan tokoh besar. Ia bukan penyidik utama atau wajah media. Tapi justru dari balik seragam sederhananya, kasus yang menimpanya membuka diskusi luas soal kekerasan di internal lembaga kepolisian.

Nurhadi, menurut data resmi, merupakan anggota satuan pengamanan internal yang ditugaskan di wilayah Jawa Timur. Rekan-rekannya mengenalnya sebagai pribadi tenang, taat peraturan, dan jarang terlibat konflik. Namun hidupnya berakhir secara tragis — dan janggal.

Awalnya, Nurhadi dikabarkan mengalami kecelakaan kerja. Tapi hasil visum menunjukkan adanya luka yang tidak sesuai dengan pernyataan resmi. Ada memar lama, pendarahan di bagian dalam kepala, dan indikasi kekerasan fisik. Keluarga menuntut autopsi ulang. Media mulai menggali. Dan pelan-pelan, publik menyadari: ada yang tidak beres.

Istri Brigadir Nurhadi kala itu tidak banyak bicara. Ia lebih banyak menemani proses hukum dan berjuang lewat jalur formal. Namun setelah munculnya kabar bahwa pihak keluarga telah menerima “kompensasi diam-diam”, ia merasa perlu meluruskan.

“Tidak mudah melawan sistem. Tapi saya tahu, suami saya tidak akan tenang kalau saya diam,” ucapnya. “Ini bukan cuma soal Nurhadi. Ini soal banyak polisi jujur di luar sana yang merasa terancam karena sikap mereka yang benar.”

Logika Uang Damai — Realita di Balik Proses Hukum di Indonesia

Kabar soal uang damai dalam kasus hukum bukan hal baru. Di Indonesia, “jalan tengah” semacam ini sering digunakan — baik oleh pelaku, korban, maupun aparat itu sendiri. Tujuannya? Untuk menghindari proses hukum panjang dan citra buruk lembaga. Tapi apakah itu adil?

Istri Brigadir Nurhadi menjadi contoh berbeda. Dalam situasi yang secara logika membuat orang lelah dan tergoda untuk “selesai cepat”, ia justru memilih jalur sulit: terus memperjuangkan kebenaran, meski harus ditinggal, dimusuhi, bahkan dicurigai.

Seorang pengamat hukum pidana dari universitas negeri di Jakarta menyebutkan bahwa dalam konteks pidana berat, seperti dugaan penganiayaan yang menyebabkan kematian, tidak ada ruang untuk “uang damai” sebagai pengganti keadilan.

“Sistem kita memang seringkali membingungkan antara restorative justice dengan kompromi,” ujar si pengamat. “Tapi bila pihak keluarga korban tidak ingin berdamai, maka proses hukum harus jalan. Titik.”

Itulah yang terjadi di kasus ini. Keteguhan Sulastri untuk tidak menerima uang menjadi pilar penting bagi penegakan hukum. Ia tidak hanya mempertahankan nama suaminya, tapi juga mengingatkan sistem agar tetap tegak — walau perlahan.

Reaksi Publik dan Efek Domino dari Sebuah Pernyataan Terbuka

Begitu wawancara Sulastri tayang di televisi swasta dan diangkat oleh media daring nasional, tagar #KeadilanUntukBrigadirNurhadi langsung naik trending. Akun-akun pengacara, aktivis HAM, hingga mantan polisi ikut memberikan komentar. Beberapa menyatakan dukungan, beberapa lainnya menyarankan perlindungan untuk keluarga Nurhadi karena “berani melawan arus”.

Sejumlah LSM mulai turun tangan. Ada yang menawarkan bantuan hukum, ada juga yang melakukan investigasi independen terhadap perkembangan kasus ini. Bahkan sebuah stasiun TV dikabarkan tengah merancang program dokumenter pendek untuk menelusuri perjalanan Nurhadi dari awal bertugas hingga akhir hidupnya.

Namun, di balik semua itu, muncul satu pertanyaan besar: Mengapa pernyataan sederhana dari seorang istri bisa begitu mengguncang?

Jawabannya ada pada keaslian. Di tengah era berita yang mudah dimanipulasi, suara yang tulus — apalagi dari kalangan yang tidak punya akses besar ke media — akan terasa lebih menggugah. Sulastri tidak punya buzzer. Ia hanya punya cerita.

Dan di negeri seperti Indonesia, terkadang satu cerita jujur bisa mengubah arah angin.

Menuju Keadilan — Harapan Keluarga dan Langkah Selanjutnya

Meski jalan hukum masih panjang, keluarga Brigadir Nurhadi tak patah arang. Menurut kuasa hukum keluarga, saat ini mereka tengah menyiapkan gugatan tambahan dan mengumpulkan bukti dari rekaman internal yang sebelumnya belum dibuka. Tujuannya satu: menyeret mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan.

Sulastri mengaku hidupnya berubah total sejak insiden itu. Ia kini lebih banyak menghabiskan waktu dengan anaknya yang masih duduk di sekolah dasar. “Dia tanya, ‘Ayah dibunuh orang jahat, ya?’ Saya nggak bisa jawab. Tapi saya janji, Ayahnya nggak akan dilupakan begitu saja.”

Banyak yang bertanya, apakah ia menyesal menolak uang damai?

“Kalau saya terima, saya mungkin bisa beli rumah baru. Tapi saya akan tidur dengan perasaan bersalah seumur hidup. Saya tahu Nurhadi tidak akan memilih uang. Ia akan memilih keadilan.”

Kalimat itu cukup menutup diskusi panjang. Karena dalam dunia yang semakin transaksional, kadang yang dibutuhkan hanyalah satu orang yang memilih untuk berkata tidak. Tidak pada kompromi ,tidak pada ketidakadilan. Tidak pada lupa.

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal

Baca Juga Artikel dari: Pupuk Palsu di Sragen, Terungkap Pabriknya Beroprasi di Boyolali!

Author

Copyright @ 2025 Incaberita. All right reserved