Hukuman Mati untuk Koruptor: Solusi atau Sekadar Ilusi?

Hukuman mati untuk koruptor kembali menjadi sorotan publik setelah pernyataan mengejutkan dari tokoh penting politik Indonesia, Prabowo Subianto. Dalam situasi ekonomi yang terus digerogoti oleh tindak pidana korupsi, gagasan untuk memberikan hukuman paling ekstrem terhadap pelaku korupsi mengundang perdebatan sengit. Apakah langkah ini benar-benar menjadi solusi nyata, atau hanya sebatas ilusi yang tak kunjung terealisasi?
Korupsi dan Dampaknya di Indonesia
Korupsi bukan sekadar kejahatan biasa. Ini adalah kejahatan luar biasa yang merusak tatanan sosial lokal, menghambat pembangunan, dan memperlebar jurang ketimpangan. Dalam laporan Transparency International, skor indeks persepsi korupsi Indonesia masih berada di bawah rata-rata global, menunjukkan masalah sistemik yang belum terselesaikan.
Kerugian negara akibat korupsi sangat masif. Dari kasus Jiwasraya, ASABRI, hingga e-KTP, nilai kerugian mencapai triliunan rupiah. Ironisnya, banyak pelaku korupsi justru mendapatkan hukuman ringan, bahkan bisa mendapatkan remisi.
Prabowo Angkat Bicara soal Hukuman Mati untuk Koruptor: Solusi Tegas atau Sekadar Retorika?
Sumber gambar: Tribun jatim
Prabowo Subianto, tokoh militer dan politik yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan, menyampaikan pandangannya dalam sebuah wawancara publik yang dilansir Kompas bahwa hukuman mati bagi koruptor perlu dipertimbangkan. Ia menyatakan bahwa korupsi adalah pengkhianatan terhadap rakyat dan negara, dan sudah sepatutnya pelakunya dihukum seberat-beratnya.
Menurut Prabowo, jika kejahatan korupsi terus dibiarkan, maka kehancuran negara hanyalah soal waktu. Ia mengibaratkan korupsi sebagai penyakit kanker stadium akhir bagi pemerintahan yang bersih dan efektif. Namun, sebagian pihak menganggap pernyataan ini lebih bersifat retorika politik ketimbang rencana konkret. Sejauh ini belum ada langkah hukum resmi yang mengarah pada penerapan hukuman mati dalam kasus korupsi di masa kepemimpinan Prabowo.
Apakah pernyataan ini akan diikuti dengan reformasi hukum yang serius, atau hanya menjadi bagian dari wacana populis untuk menarik simpati publik? Pertanyaan ini masih menggantung di benak banyak pihak.
Landasan Hukum dan Hambatan Implementasi
Dalam hukum positif Indonesia, hukuman mati memang diatur, namun terbatas pada kejahatan luar biasa seperti pembunuhan berencana, terorisme, dan narkotika. Untuk korupsi, hukuman mati dapat dijatuhkan dalam kondisi tertentu, seperti saat dilakukan dalam keadaan darurat atau saat bencana alam, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.
Namun, implementasi pasal tersebut hampir nihil. Hambatan utama terletak pada penafsiran hukum yang sempit, serta resistensi dari berbagai pihak, baik nasional maupun internasional, yang menilai hukuman mati melanggar hak asasi manusia.
Pandangan Pro dan Kontra soal Hukuman Mati untuk Koruptor
Para pendukung hukuman mati menilai bahwa tindakan ekstrem diperlukan untuk memberikan efek jera. Dalam konteks Indonesia yang sudah sangat parah dengan korupsi struktural, hukuman mati dianggap sebagai bentuk keadilan restoratif bagi masyarakat.
Namun, kelompok penentang berpendapat bahwa hukuman mati tidak serta merta menurunkan angka korupsi. Justru, mereka mengusulkan reformasi sistem pengawasan, penguatan KPK, dan edukasi antikorupsi sejak dini. Mereka juga menyoroti potensi penyalahgunaan kekuasaan dan kriminalisasi lawan politik.
Studi Banding Hukuman Mati untuk Koruptor di Negara Lain
Beberapa negara seperti Tiongkok, Iran, dan Vietnam menerapkan hukuman mati untuk kasus korupsi. Di Tiongkok, eksekusi terhadap pejabat tinggi kerap dilakukan sebagai bentuk disiplin politik.
Namun, data menunjukkan bahwa efektivitas hukuman mati sebagai pencegah korupsi tidak mutlak. Negara-negara dengan indeks korupsi rendah seperti Finlandia, Selandia Baru, dan Denmark justru mengandalkan sistem transparansi dan akuntabilitas, bukan eksekusi.
Solusi Alternatif selain Hukuman Mati
Sebelum melangkah pada hukuman mati, ada beberapa pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan, seperti:
- Reformasi Birokrasi: Menyederhanakan proses administratif untuk menutup celah korupsi.
- Transparansi Anggaran: Penggunaan teknologi untuk membuka akses publik terhadap penggunaan dana.
- Edukasi Antikorupsi: Membangun karakter antikorupsi sejak pendidikan dasar.
- Pemiskinan Pelaku Korupsi: Menyita seluruh aset yang diperoleh dari hasil korupsi.
Kesimpulan: Solusi atau Ilusi?
Pernyataan Prabowo tentang hukuman mati untuk koruptor telah memantik diskusi penting. Namun, pertanyaannya tetap sama: Apakah Indonesia siap secara hukum, moral, dan politik untuk mengeksekusi koruptor?
Hukuman mati mungkin terlihat sebagai solusi instan, tapi bisa menjadi ilusi jika tidak disertai reformasi menyeluruh. Dalam membangun bangsa yang bersih dan adil, yang dibutuhkan bukan hanya hukuman berat, tetapi sistem yang kuat, transparan, dan berpihak pada keadilan.
Bacalah artikel lainnya: Prabowo Hapus Kuota Impor: Apa Dampaknya bagi Ekonomi RI?