Gunung Lewotobi Meletus: Kronologi Letusan dan Dampaknya

Gunung Lewotobi Laki-laki, yang kita ketahui terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), kembali menunjukkan adanya aktivitas vulkanik yang signifikan. Erupsi terbaru terjadi pada Rabu, 16 April 2025, pukul 05.33 dan 05.44 setelah sebelumnya di Jumat, 11 April 2025, pukul 23:19 WITA. Dengan kolom abu mencapai ketinggian sekitar 1.700 meter di atas puncak gunung. Letusan ini merupakan bagian dari rangkaian aktivitas vulkanik yang telah berlangsung sejak awal tahun, menimbulkan kekhawatiran dan dampak signifikan bagi masyarakat sekitar.
Erupsi ini menyebabkan ribuan warga mengungsi dan menimbulkan kerusakan pada infrastruktur di sekitarnya. Sebagai seorang yang pernah tinggal di daerah rawan bencana, aku memahami betapa pentingnya informasi yang akurat dan terkini dalam menghadapi situasi seperti ini.
Kronologi Erupsi Gunung Lewotobi Terbaru
Sumber gambar: RRI
Erupsi pada 11 April 2025 bukanlah kejadian tunggal. Sebelumnya, Gunung Lewotobi Laki-laki telah mengalami beberapa kali letusan, termasuk pada 8 April 2025, yang menghasilkan kolom abu setinggi 500 meter. Aktivitas vulkanik ini menunjukkan peningkatan intensitas, dengan erupsi yang terjadi dalam interval waktu yang relatif singkat.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat bahwa erupsi pada 11 April 2025 disertai dengan gempa vulkanik dan embusan yang signifikan. Kolom abu berwarna kelabu dengan intensitas tebal condong ke arah utara dan timur laut. Letusan ini juga terdengar hingga ke wilayah Larantuka dan Maumere, yang berjarak sekitar 50 hingga 85 kilometer dari gunung.
Dampak Terhadap Masyarakat
Pengungsian Massal
Akibat erupsi yang terjadi sejak awal tahun, ribuan warga terpaksa mengungsi ke lokasi yang lebih aman. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa pada Maret 2025, sebanyak 4.976 jiwa dari 1.350 kepala keluarga mengungsi akibat aktivitas Gunung Lewotobi Laki-laki. Pengungsi tersebar di beberapa titik, termasuk Balai Desa Wulanggitang dan posko-posko darurat yang didirikan oleh pemerintah daerah.
Korban Jiwa dan Luka
Erupsi yang terjadi pada November 2024 menyebabkan 10 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Sementara itu, erupsi pada Maret 2025 menyebabkan dua warga mengalami luka bakar akibat terkena material panas saat berusaha menyelamatkan diri. Kondisi ini menunjukkan betapa berbahayanya aktivitas vulkanik Gunung Lewotobi Laki-laki bagi masyarakat sekitar.
Kerusakan Infrastruktur
Material erupsi seperti lava pijar dan bebatuan telah menghantam permukiman warga, menyebabkan kerusakan pada rumah dan fasilitas umum. Beberapa rumah dilaporkan terbakar dan rusak total akibat terkena material panas. Selain itu, hujan abu vulkanik juga menyebabkan kerusakan pada lahan pertanian dan mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat.
Respons Pemerintah dan Mitigasi Gunung Lewotobi
Peningkatan Status Gunung
PVMBG telah menaikkan status aktivitas Gunung Lewotobi Laki-laki ke Level IV (Awas) sejak 20 Maret 2025, menyusul erupsi dahsyat yang terjadi pada malam sebelumnya. Kolom abu saat itu mencapai ketinggian 2.500 meter di atas puncak gunung. Peningkatan status ini disertai dengan perluasan zona bahaya dari radius 7 kilometer menjadi 8 kilometer dari kawah.
Evakuasi dan Bantuan
Pemerintah daerah, dibantu oleh TNI, Polri, dan relawan, telah melakukan evakuasi warga dari desa-desa yang berada dalam zona bahaya. Desa-desa seperti Pululera, Nawokote, Hokeng Jaya, dan lainnya telah dikosongkan untuk menghindari risiko lebih lanjut. BNPB juga telah mendirikan posko-posko pengungsian dan menyediakan bantuan logistik, termasuk makanan, air bersih, dan layanan kesehatan bagi para pengungsi.
Imbauan kepada Masyarakat
BNPB dan PVMBG terus mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan aktivitas dalam radius 8 kilometer dari kawah Gunung Lewotobi Laki-laki. Masyarakat juga diminta untuk selalu mengenakan masker untuk menghindari dampak negatif dari abu vulkanik, serta waspada terhadap potensi banjir lahar yang dapat terjadi akibat hujan deras di sekitar gunung.
Letak dan Keunikan Geografis Gunung Lewotobi
Gunung ini menjulang di atas wilayah Larantuka, dan bisa dilihat dari berbagai sudut desa di sekitarnya.
Kedua puncaknya punya nama berbeda:
-
Lewotobi Laki-laki: lebih aktif, ketinggiannya sekitar 1.584 mdpl.
-
Lewotobi Perempuan: sedikit lebih rendah, sekitar 1.703 mdpl, dan lebih jarang meletus.
Yang bikin unik, mereka dianggap punya “karakter” berbeda. Laki-laki sering bikin letusan kecil atau awan panas, sementara Perempuan dikenal lebih “pendiam” tapi kalau marah, bisa lebih dahsyat.
Aku pernah ngobrol sama warga di Desa Konga. Katanya, kalau kabut turun di sekitar Lewotobi, itu pertanda salah satu akan bangun dari tidur panjangnya. Mistis banget, tapi siapa sih yang bisa sepenuhnya memisahkan alam dan budaya di tanah Indonesia?
Sejarah Letusan Gunung Lewotobi: Catatan Alam yang Harus Diingat
Salah satu alasan kenapa aku tertarik dengan Gunung Lewotobi adalah sejarah letusannya. Ini bukan gunung kaleng-kaleng. Catatan dari PVMBG menyebutkan bahwa Lewotobi telah meletus lebih dari 20 kali sejak 1660.
Letusan besar pernah terjadi di:
-
1921 dan 1928 – menghancurkan beberapa permukiman
-
1935 dan 1948 – disertai lava pijar dan abu tebal
-
1970 dan 2003 – lebih bersifat erupsi kecil namun tetap berbahaya
-
2023-2024 – inilah letusan yang paling viral beberapa waktu terakhir
Letusan terakhir itu bikin ratusan warga harus mengungsi. Aku sempat pantau dari media sosial, dan rasanya campur aduk. Takjub karena alam memperlihatkan kuasanya, tapi juga prihatin sama dampak sosialnya.
Menurut data dari PVMBG Badan Geologi (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), sistem pemantauan di Lewotobi udah cukup modern sekarang. Tapi tetap, warga harus sigap karena perubahan bisa cepat banget.
Mendaki Gunung Lewotobi: Tantangan Fisik dan Rasa Hormat pada Alam
Ngomongin pendakian, Lewotobi ini bukan kayak gunung yang populer kayak Rinjani atau Semeru. Tapi justru itu yang bikin pengalaman jadi lebih dalam. Jalurnya belum “komersil banget”, dan kamu beneran harus banyak tanya ke warga lokal soal jalur.
Aku naik dari sisi Desa Boru—salah satu basecamp yang cukup dikenal. Jalur ke Lewotobi Laki-laki itu lumayan curam dan vegetasinya lumayan rapat. Tapi sepanjang jalan, kamu bakal disuguhi:
-
Pemandangan laut Flores
-
Kebun jagung dan pisang warga
-
Lembah berkabut yang cantik banget buat foto-foto
Satu hal yang harus dicatat: jangan asal naik tanpa izin adat. Ada semacam ritual sebelum mendaki. Aku bahkan dikasih sirih pinang sama tetua adat, katanya buat “ngobrol baik-baik” sama penjaga gunung.
Kalau kamu tipe yang suka tantangan dan alam liar yang masih perawan, ini tempat yang pas. Tapi bukan buat yang sok jagoan ya, karena jalur bisa licin dan cuaca berubah drastis.
Lewotobi dan Budaya Lokal: Mitos, Ritual, dan Kehidupan Sehari-hari
Salah satu hal paling kuat yang aku rasain selama eksplorasi di Lewotobi adalah betapa eratnya gunung ini dalam kehidupan masyarakat lokal. Di sini, gunung bukan cuma tumpukan batu dan magma. Dia adalah sosok.
Masyarakat suku Lamaholot, yang tinggal di sekitar Lewotobi, percaya bahwa gunung ini punya “roh”. Mereka ngadain upacara adat, terutama saat gunung mulai menunjukkan tanda-tanda aktivitas. Upacara ini biasanya melibatkan:
-
Pemotongan hewan kurban
-
Tarian adat
-
Doa bersama di altar batu
Aku sempat diajak lihat upacara kecil. Jujur, aku ngerasa kayak dibawa ke dimensi lain. Di tengah kabut, suara gong dan nyanyian adat bikin merinding, bukan karena takut, tapi karena hormat.
Selain itu, banyak juga cerita mistis. Katanya, Lewotobi Perempuan sering muncul di mimpi warga sebelum meletus. Bahkan ada yang bilang, kalau kamu mimpi ada perempuan tua bawa obor di kaki gunung, itu pertanda alam akan berubah.
Potensi Wisata yang Belum Tereksplorasi Maksimal
Kalau kamu tanya ke aku, “Gunung Lewotobi worth it nggak buat jadi destinasi wisata?” Jawabanku: banget. Tapi ya itu tadi, infrastruktur dan promosi masih minim. Padahal potensinya luar biasa:
-
Sunrise di atas awan
-
Jejak lava beku yang estetik
-
Cerita budaya dan sejarah lokal yang dalam banget
Bisa dibilang ini seperti permata yang belum diasah. Kalo dikelola dengan bijak, Lewotobi bisa jadi salah satu daya tarik utama NTT selain Kelimutu dan Labuan Bajo.
Tapi aku juga agak khawatir. Soalnya kadang pariwisata yang nggak terkontrol bisa rusak ekosistem. Belum lagi kemungkinan konflik dengan adat setempat. Harus ada pendekatan kolaboratif antara pemerintah, warga, dan traveler.
Tips Praktis Buat Kamu yang Mau ke Gunung Lewotobi
Buat kamu yang kepikiran buat datang ke Gunung Lewotobi, ini beberapa tips yang aku pelajari dari pengalaman (dan beberapa kesalahan bodoh yang sempat aku buat):
-
Izin Dulu, Hormati Adat
Jangan asal naik. Tanya dulu ke tetua adat atau kepala desa. -
Bawa Masker dan Kacamata
Abu vulkanik bisa muncul tiba-tiba, terutama kalau gunung lagi aktif. -
Siapkan Fisik dan Mental
Jalur nggak ada warung. Air harus bawa sendiri. Sinyal? Ya selamat berlibur dari notifikasi. -
Nginep di Rumah Warga
Banyak homestay sederhana yang murah dan kamu bisa belajar budaya lokal dari mereka. -
Pantau Info dari PVMBG
Situs resmi seperti PVMBG biasanya update status aktivitas gunung. -
Bawa Kamera atau Buku Catatan
Karena banyak banget momen yang layak diabadikan. Atau ditulis jadi blog post kayak gini.
Renungan: Saat Alam dan Manusia Belajar Saling Mengerti
Buat aku pribadi, perjalanan ke Gunung Lewotobi itu bukan cuma soal naik gunung. Tapi lebih ke pelajaran tentang harmoni. Gimana manusia bisa hidup berdampingan dengan alam, nggak saling mendominasi.
Lewotobi ngajarin aku buat sabar. Di sana, kamu nggak bisa maksa waktu. Kabut bisa nutup pemandangan kapan aja. Jalur bisa berubah licin. Tapi kalau kamu ikutin irama alam, kamu bakal lihat keindahan yang nggak bisa dijelaskan cuma lewat kamera.
Suara yang bersih yang jernih dan murni suara rakyat bisa ditentukan dari: PSU Pilkada: Bukan Formalitas, Tapi Menjaga Suara Tetap Bersih