September 22, 2025

INCA BERITA

Berita Terkini Seputar Peristiwa Penting di Indonesia dan Dunia

Eks Marinir Satria Arta: Korps Marinir ke Tentara Bayaran Rusia

Eks Marinir Satria Arta

Jakarta, incaberita.co.id – Tak ada yang menyangka, seorang pemuda asal Pati bernama Eks Marinir Satria Arta, yang dulunya bersumpah setia sebagai prajurit marinir TNI AL, kini malah masuk dalam daftar pemantauan dunia internasional. Bukan karena menjadi pahlawan, melainkan karena keputusannya bergabung sebagai tentara bayaran Rusia dalam konflik bersenjata yang menegangkan di Ukraina.

Nama Satria mencuat di berbagai media nasional. Kisahnya seperti drama perang yang lepas kendali—dimulai dari idealisme, merambat jadi tragedi personal. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, dibesarkan dalam keluarga petani sederhana. Semangat bela negara sudah mendarah daging sejak ia kecil. Orang-orang bilang, Satria itu tipe orang yang rela capek demi harga diri bangsa. Tapi hidup ternyata tak selalu memihak pada niat baik.

Dalam wawancara eksklusif yang sempat direkam lewat pesan suara yang viral di platform chat, terdengar suara Satria gemetar. “Saya salah, saya pikir ini cara cepat dapat uang,” ucapnya lirih. Ia tak menyangka pilihan “kontrak militer” di luar negeri akan membawanya ke titik terburuk hidupnya: terjebak di negeri orang, kehilangan status, dan dianggap pengkhianat.

Jalan Sunyi Menuju Medan Perang – Dari Kesatuan ke Front Rusia

Eks Marinir Satria Arta

Image Source: Kompas.com

Sebelum memutuskan keluar dari kesatuan, Satria dikenal sebagai marinir yang disiplin dan loyal. Rekannya di TNI menyebutnya sebagai “orang yang terlalu serius buat urusan negara.” Namun setelah pensiun dini, Satria masuk masa vakum. Ia mencoba jadi instruktur pelatihan bela diri, tapi pendapatan tak menentu. Kala pandemi menghantam, ia nyaris kehilangan semua.

Di sinilah celah itu muncul. Melalui grup-grup tertutup media sosial, Satria mengaku dihubungi oleh pihak yang menawarkan “kerja kontrak militer” di luar negeri. Tanpa menyebut negara secara gamblang, si perekrut menggambarkan bahwa itu “bukan perang resmi”, hanya “pengamanan kawasan tak stabil”. Honor? Fantastis: $2.000 per minggu. Tanpa pikir panjang, Satria mengiyakan.

Setibanya di perbatasan Rusia, realita menghantam. Ia bukan sekadar tenaga pengamanan, melainkan pejuang di garis depan. Beberapa anggota dari negara lain bahkan tak bisa berbahasa Inggris, apalagi bahasa Rusia. Komunikasi pun jadi soal hidup-mati. “Saya merasa seperti pion,” kata Satria dalam satu rekaman suara. “Kami dilempar ke zona konflik, tanpa kejelasan, tanpa perlindungan hukum.”

Saat Kesetiaan Teruji – Ketika Peluru Bicara dan Bendera Menjadi Beban

Di garis depan, Satria menghadapi pilihan yang tak pernah dia bayangkan: menembak atau ditembak. Setiap misi membuatnya makin merasa jauh dari kemanusiaan. Ia melihat rekan satu regunya terluka parah, hanya untuk ditinggalkan karena “tidak efisien lagi”.

“Saya ingat waktu kecil, saya ikut upacara bendera tiap Senin. Sekarang, saya pakai seragam tanpa lambang. Rasanya hampa,” tulisnya dalam pesan kepada seorang kenalan. Identitasnya sebagai orang Indonesia perlahan memudar. Ia sadar, bukan cuma soal uang atau petualangan militer, ini tentang kehilangan arah.

Luka mental yang dialami Satria bukan main-main. Dalam pesan terakhirnya, ia mengaku sering mimpi buruk. Ia ingin pulang, tapi takut ditangkap. Ia merasa dirinya adalah aib—baik bagi keluarga, maupun institusi tempat dia pernah berdinas.

Minta Pulang ke Tanah Air – Tapi Haruskah Dimaafkan?

Setelah lebih dari setahun menghilang dari radar, kabar Satria muncul lagi: ia menghubungi kedutaan besar RI melalui pesan daring, mengutarakan keinginannya untuk pulang. Tapi jalan pulang tak semudah tiket pesawat. Pemerintah Indonesia tengah mengkaji posisi hukum eks marinir ini. Karena tindakan Satria dianggap melanggar UU, bisa jadi ia menghadapi sanksi berat.

Di tengah simpati dan kritik publik, muncul suara dari aktivis HAM yang menyoroti sisi psikologis dari tentara bayaran. “Banyak dari mereka korban eksploitasi ekonomi dan ketidaktahuan hukum internasional,” ujar seorang pengamat militer. Tapi netizen tidak semuanya lunak. Komentar seperti “Sudah khianat, jangan minta pulang!” membanjiri forum diskusi.

Di sisi lain, keluarga Satria di Pati hanya ingin anaknya pulang dalam keadaan hidup. “Saya cuma mau dia kembali, apa pun akibatnya nanti,” kata ibunya saat diwawancara media lokal. Isak tangisnya mengoyak siapa pun yang menontonnya.

Akhir dari Cerita atau Awal dari Perubahan?

Kini, nama Satria Arta jadi simbol perdebatan tentang nasionalisme, keputusasaan, dan batas tipis antara idealisme dan realita. Di satu sisi, ia adalah mantan pahlawan yang kecewa. Di sisi lain, ia dianggap berkhianat pada negara.

Apakah cerita Satria Arta akan menjadi pelajaran bagi yang lain? Apakah Indonesia akan memberikan pintu maaf dan rehabilitasi bagi mereka yang tersesat? Tak ada jawaban yang mudah.

Yang jelas, saat ini Satria masih terkatung-katung. Pulang, bisa berarti pengadilan. Bertahan, bisa berarti kematian tanpa nama di medan perang asing.

Dan di sinilah kita berdiri: membaca kisah nyata dari seseorang yang dulu mengucap sumpah di bawah merah putih, tapi kini terdampar jauh, membawa luka yang tak kasat mata, dan pertanyaan yang menggantung—apa arti setia, dan kepada siapa kita seharusnya setia?

Penutup

Kisah Satria Arta bukan cerita hitam-putih. Ia adalah mozaik pahit dari generasi yang berjuang di tengah tekanan ekonomi, kerapuhan psikologis, dan mimpi yang tidak sesuai ekspektasi. Di balik seragam tempur dan sorot kamera, ada manusia—dan mungkin, satu hari nanti, ada pengampunan.

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal

Baca Juga Artikel dari: Dua Motor PJR Polda Sumut Menabrak Nenek di Medan, Ini Kronologinya

Author

Copyright @ 2025 Incaberita. All right reserved