Divestasi Freeport 12 Persen Disepakati, Pemerintah Perkuat Kontrol PTFI

JAKARTA, incaberita.co.id – Di ruang rapat yang tak pernah sepi dari debat angka, satu kabar terdengar paling lantang: Divestasi Freeport 12 Persen disepakati. Frasa itu sederhana, gaungnya panjang. Bukan semata menambah porsi saham negara di PT Freeport Indonesia, melainkan tentang merapikan tata kelola sumber daya, menegosiasikan nilai tambah, serta mengunci arah pengelolaan tembaga dan emas di Papua.
Sebagai pembawa berita, terbayang adegan ringkas: analis keuangan menyorot grafik tembaga yang bergejolak. Seorang pejabat menggenggam draf perjanjian. Perwakilan masyarakat adat di Mimika bertanya, “Apa makna praktisnya bagi kehidupan di sini.” Pertanyaan itu menjadi kompas untuk menilai berita ini.
Kesepakatan Divestasi Freeport 12 Persen diklaim tanpa dana keluar. Di atas kertas, kontrol negara atas PTFI menebal. Namun angka di perjanjian hanyalah pembuka. Kelanjutannya ditentukan implementasi, konsistensi, serta bukti bahwa kepemilikan lebih besar berbanding lurus dengan manfaat yang adil.
Sumber gambar : bareksa.com
Untuk membaca signifikansi Divestasi Freeport 12 Persen, tarik garis ke 2018 saat MIND ID memegang 51 persen saham PTFI. Tambahan 12 persen menandai fase lanjutan menuju proyeksi sekitar 63 persen pada 2041. Angka ini memberi ruang manuver strategis: keputusan investasi, arah lingkungan, dan disiplin operasional.
Ada ironi yang sulit diabaikan. Kabar divestasi datang beriringan dengan insiden mud rush di Grasberg. Operasi sebagian area terhenti, proyeksi produksi direvisi, pasar menimbang ulang risiko. Kepemilikan meningkat, tanggung jawab ikut membesar.
Poin paling disorot publik adalah “free of charge”. Tambahan 12 persen tanpa kas APBN. Beban fiskal berkurang, tetapi bukan tanpa syarat. Paketnya terkait perpanjangan IUPK, kewajiban hilirisasi, dan kontribusi sosial di Papua.
Agar manfaat terasa, tata kelola harus naik kelas. Audit operasional dipublikasikan rutin. Metrik keselamatan dipertegas. Laporan dampak sosial lingkungan dibuka dengan bahasa yang mudah dipahami. Tanpa transparansi, kepemilikan mudah menjadi paradoks: merasa punya, namun sulit merasakan manfaat.
Tambahan porsi berpotensi mengangkat dividen negara. Besarnya tetap dipengaruhi harga komoditas, biaya, serta belanja modal. Penerimaan pajak dan royalti mengikuti ritme produksi. Dalam jangka pendek, insiden operasional membuat proyeksi lebih konservatif. Dalam jangka menengah, saat kapasitas pulih, peluang fiskal membaik. “Tanpa dana keluar” bukan “tanpa biaya kesempatan”; ekosistem energi dan logistik untuk hilirisasi harus siap agar produk olahan kompetitif.
Sejak perubahan kepemilikan pada 2018, ekspektasi akuntabilitas meningkat. Harapan itu menyentuh hal-hal sederhana: laporan kinerja yang mudah dibaca, kejelasan rencana investasi, dan keterlibatan masyarakat setempat. Penguatan porsi melalui Divestasi Freeport 12 Persen menempatkan pemerintah pada posisi yang lebih kuat untuk menuntut standar tersebut.
Aspek hukum juga krusial. Kepastian izin pasca 2041 menuntut harmoni antara kepentingan pusat, daerah, dan pemangku kepentingan adat. Dokumen rapi tidak cukup. Mekanisme penyelesaian sengketa, kepastian pajak, serta keselarasan regulasi lingkungan mesti dirancang sejak awal agar tidak menimbulkan kebuntuan saat implementasi.
Hilirisasi kerap dipersempit menjadi smelter, padahal itu hanya simpul. Yang dicari ialah rantai nilai lebih panjang: kabel berkualitas, komponen kendaraan listrik, dan perangkat energi terbarukan. Divestasi Freeport 12 Persen memberi tuas untuk mengarahkan investasi ke riset material, pabrik komponen, serta pengembangan talenta lokal. Tanpa talenta, hilirisasi berhenti sebagai kepatuhan, bukan keunggulan.
Insentif kebijakan dapat mempercepat lompatan. Fasilitas fiskal yang terarah, pengadaan pemerintah yang memprioritaskan produk berbasis tembaga domestik, dan kemitraan dengan produsen global akan memperluas pasar. Kuncinya tetap konsistensi regulasi. Kepastian aturan membuat pelaku usaha berani menanam modal jangka panjang.
Fakta lapangan jelas: insiden mud rush menelan korban dan menekan target produksi. Tanggapannya harus konkret—investigasi transparan, standar keselamatan diperbarui, serta pemulihan bertahap namun pasti. Komunikasi publik yang jernih dibutuhkan. Divestasi Freeport 12 Persen tidak berhenti di kepemilikan; standar keselamatan adalah ukurannya.
Peningkatan sistem peringatan dini wajib dipercepat. Sensor geoteknik, pemodelan aliran lumpur, juga latihan evakuasi berkala perlu menjadi rutinitas, bukan respons sesaat. Laporan keselamatan yang menampilkan indikator utama—TRIR, near miss, jam pelatihan—sebaiknya dirilis periodik agar publik dapat memantau kemajuan.
Keberhasilan diukur dari manfaat lokal yang terukur. Baseline sosial diterbitkan: pendidikan, kesehatan, pendapatan, serta akses layanan. Target tahunan realistis, pengawasan partisipatif, dan rantai pasok manusia yang berfungsi membuat program benar-benar hidup. Bukan sekadar gedung sekolah atau klinik, melainkan layanan yang berjalan.
Program sosial bertumpu pada tiga fondasi: data dasar akurat, pendanaan berkelanjutan, dan partisipasi komunitas. Indikator seperti kehadiran sekolah, cakupan imunisasi, serta akses air layak perlu dipublikasikan berkala. Rencana multi-tahun yang mengaitkan beasiswa, pelatihan kejuruan, dan kewirausahaan lokal dapat menciptakan efek pengganda ekonomi.
Transparansi menciptakan kepercayaan. Ketika kepercayaan naik, biaya modal cenderung turun. Dashboard kinerja publik, laporan triwulanan yang mudah dibaca, rencana jangka menengah yang konsisten, serta audit independen berkala akan membuat Divestasi Freeport 12 Persen melampaui headline.
Teknologi digital memudahkan keterbukaan. Dashboard daring yang merangkum konsumsi energi, intensitas emisi, kinerja operasional, dan belanja sosial dapat diakses luas. Penjelasan metodologi disertakan agar angka tidak disalahartikan. Ketika publik memahami konteks, diskursus menjadi lebih dewasa.
Lima fokus tiga hingga enam bulan ke depan harus jelas. Finalisasi legal divestasi dan keterkaitannya dengan IUPK menjadi prioritas. Rencana pemulihan pasca insiden dipetakan dengan tonggak waktu. Roadmap hilirisasi diperinci pada kapasitas, mutu produk, dan sumber energi. Paket sosial disejajarkan dengan indikator pembangunan daerah. Komunikasi eksternal dijaga konsisten agar ekspektasi publik terkelola.
Dinamika harga tembaga memengaruhi prioritas belanja modal. Saat siklus menguat, peluang ekspansi hilir dan adopsi teknologi bersih terbuka lebar. Pada fase melemah, efisiensi proses dan reliability peralatan harus menjadi fokus agar margin terlindungi. Divestasi Freeport 12 Persen memperkuat posisi pemegang saham pengendali untuk menyelaraskan keputusan investasi dengan agenda nasional: pengurangan emisi, peningkatan produktivitas, dan penciptaan kerja bernilai tambah. Keputusan yang disiplin—misalnya peningkatan pemanfaatan panas buang, perawatan prediktif berbasis data, dan kontrak energi jangka panjang yang kompetitif—akan menjaga ketahanan biaya serta tata kelola
Divestasi meningkatkan kendali, tetapi juga amanat. Amanat keselamatan kerja. nilai tambah hilirisasi. Amanat manfaat sosial yang nyata. Bila amanat itu tertunaikan, Divestasi Freeport 12 Persen berubah dari angka di neraca menjadi perubahan di sekolah, puskesmas, jaringan listrik, dan masa depan generasi muda Papua.
Baca juga konten dengan artikel terkait tentang: Lokal
Baca juga artikel lainnya: Purbaya Tegaskan Reformasi: Urusan Pajak dan Cukai Ditangani Langsung untuk Kepastian