Calon hakim agung pemvonis mati Ferdy Sambo dicecar DPR soal “wakil Tuhan”

JAKARTA, incaberita.co.id – Calon hakim agung Alimin Ribut Sujono melangkah ke ruang rapat Komisi III DPR pada siang yang penuh kamera. Kursi terisi, catatan berserakan, dan atmosfernya tidak biasa. Pertanyaan awal tidak berhenti di data riwayat kerja. Isu yang dilempar justru menyasar salah satu perkara paling disorot beberapa tahun terakhir, yakni vonis mati terhadap Ferdy Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lalu muncul kalimat yang memecah fokus ruangan: “Anda merasa wakil Tuhan?”
Di ruang uji kelayakan calon hakim agung, pilihan diksi memiliki konsekuensi. Metafora religius ditempelkan pada sosok yang ditugasi memutus hidup orang lain dalam perkara pidana. Sebagian hadirin melihatnya sebagai tes filosofi yang wajar untuk mengukur cara pandang seorang calon hakim agung terhadap pidana mati. Pihak lain khawatir, karena pernyataan seperti itu berpotensi mengaburkan jarak antara keyakinan pribadi dan kewenangan hukum. Komisi III bergerak di antara dua tegangan tersebut, berusaha memastikan bahwa integritas, kompetensi yuridis, dan kedewasaan berargumentasi hadir bersamaan, bukan gantian.
Satu detik hening terasa lama. Setelah itu, jawaban yang menegaskan motif keadilan disampaikan. Persis di titik itu, perdebatan publik menemukan bahan bakarnya. Apakah seorang hakim saat menjatuhkan vonis berat sedang bertindak sebagai petugas hukum yang dingin atau sebagai subjek bermoral yang menanggung beban etik. Pertanyaan yang tampak sederhana, padahal menyentuh hal mendasar tentang cara lembaga peradilan bekerja di hadapan warga.
Sumber gambar : stmikkomputama.ac.id
Alimin bukan nama baru bagi ekosistem peradilan pidana. Rekam jejak calon hakim agung ini mencatat peran dalam majelis PN Jakarta Selatan yang memutus perkara pembunuhan berencana dengan hukuman maksimal. Kini berstatus Hakim Tinggi, pengalamannya diletakkan di meja periksa untuk diuji konsistensi. Pengalaman di Senayan bukan sekadar kebanggaan, melainkan pintu untuk menggali logika pemidanaan, cara menimbang alat bukti, serta standar proporsionalitas yang wajib dipegang calon hakim agung.
Di luar gedung parlemen, topik ini menyusup ke obrolan warung kopi. Pada sebuah kampus hukum, seorang mahasiswa bertanya pada asistennya setelah kelas hukum pidana umum. Jika calon hakim agung pernah memutus pidana mati, bagaimana memastikan pandangannya tetap imparsial ketika menghadapi perkara lain. Pertanyaan tersebut menggambarkan kegelisahan generasi baru: lembaga peradilan butuh standar yang jelas dan dapat diuji, bukan sekadar reputasi.
Sebagai orang ketiga yang netral, redaksi melihat bahwa momen uji kelayakan adalah ruang belajar bersama. Calon hakim agung dituntut menjelaskan cara berpikir secara rinci. Publik mendapat kesempatan menakar apakah standar yang digunakan bisa direplikasi oleh hakim lain, di kasus lain, dan di kota lain.
Istilah “wakil Tuhan” memicu perdebatan karena menyentuh wilayah etik yang paling sensitif. Hakim memang bekerja dengan nurani, namun mandatnya bersumber dari konstitusi, undang-undang, serta hukum acara. Etika peradilan mensyaratkan integritas, independensi, dan keadilan. Meskipun demikian, setiap pertimbangan akhir wajib kembali pada fakta persidangan, alat bukti, dan argumentasi hukum yang sistematis. Di sini calon hakim agung diuji kemampuannya menempatkan keyakinan pribadi di bawah koridor hukum.
Di ranah pidana mati, standar transparansi harus lebih tinggi. Ada nyawa yang dipertaruhkan. Publik wajar menuntut penjelasan parameter yang digunakan. Unsur kesengajaan dan perencanaan semestinya diurai terukur. Dampak sosial serta peran terdakwa perlu dipetakan dengan jelas. Selain itu, keberadaan faktor meringankan dan memberatkan harus ditimbang seimbang. Semakin terperinci jawaban atas tanya-tanya tersebut, semakin kuat legitimasi putusan di mata warga, dan semakin terlihat kompas etik calon hakim agung saat memutus perkara paling serius.
Metafora bisa memperkaya bahasa, tetapi peradilan berdiri di atas logika prosedural. Karena itu Komisi III menekankan agar setiap ucapan simbolik diikuti penjelasan metodologis yang konkret. Dengan cara ini, perdebatan tidak macet pada sensasi, melainkan bergeser ke substansi yang dapat diaudit.
Kerangka hukum memberi pagar. KUHP baru, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, masih memuat pidana mati dengan penempatan khusus yang lebih restriktif. Pasal 100 memperkenalkan masa percobaan selama sepuluh tahun sebelum eksekusi. Selama periode itu, evaluasi terhadap perilaku, penyesalan, serta perubahan diri terpidana dapat menjadi faktor penting. Arah kebijakan ini dibaca banyak kalangan sebagai upaya pengetatan penggunaan pidana mati tanpa menghapusnya, sebuah rambu yang wajib dipahami calon hakim agung.
Preseden perkara Ferdy Sambo juga memperlihatkan fungsi kontrol berlapis. Putusan tingkat pertama yang menjatuhkan pidana mati menjadi perdebatan luas. Pada jenjang lebih tinggi, Mahkamah Agung melalui kasasi mengubah hukuman menjadi penjara seumur hidup. Rangkaian ini menegaskan dua hal. Pertama, sistem berjenjang bekerja sebagai korektor. Kedua, argumentasi yang rapi serta konsistensi pembuktian menjadi kunci ketika sebuah putusan ditimbang ulang di tingkat lebih tinggi. Pendidikan yudisial semacam ini relevan bagi setiap calon hakim agung agar standar proporsionalitas dan kehati-hatian menjadi kebiasaan kerja, bukan pengecualian.
Ketika calon hakim agung duduk di hadapan Komisi III, publik berharap ada jembatan yang menghubungkan ucapan etik dengan konstruksi hukum. Di satu sisi, nilai moral dibutuhkan untuk merasakan bobot kejahatan. Di sisi lain, putusan harus dapat diaudit oleh hukum acara, bukan oleh semata keyakinan pribadi.
Uji kelayakan bukan hanya soal menghafal pasal. Di dalamnya ada penilaian atas kejernihan berpikir, konsistensi menimbang bukti, serta komitmen terhadap imparsialitas. Ada beberapa hal yang patut dibuka setransparan mungkin oleh calon hakim agung. Pertama, definisi operasional “sangat luar biasa” saat menjatuhkan pidana mati. Kedua, tolok ukur proporsionalitas yang digunakan. Ketiga, cara menjaga jarak dari opini populer, terutama ketika kasus menyangkut figur publik yang menyita perhatian.
Keterbukaan seperti ini membawa manfaat ganda. Warga memperoleh panduan memahami mengapa sebuah putusan terasa berat atau ringan. Hakim di pengadilan negeri hingga pengadilan tinggi mendapat contoh standar kerja yang bisa ditiru. Di saat bersamaan, calon hakim agung memperlihatkan bahwa posisi di puncak piramida yudisial menuntut kemampuan berbicara jernih di hadapan riuh publik.
Sebuah anekdot kecil kerap diceritakan jurnalis lapangan usai rapat. Seorang pengemudi ojek daring bertanya, apakah pernyataan “wakil Tuhan” membuat putusan tak bisa salah. Jawabannya singkat. Tidak ada putusan yang kebal dari uji. Itulah alasan sistem banding, kasasi, dan peninjauan kembali disediakan. Anekdot ini mungkin sederhana, namun cukup untuk mengingatkan bahwa hukum memberi jalur koreksi, bukan tempat mengultuskan palu. Pelajaran ini penting bagi calon hakim agung, terutama saat menjelaskan pertimbangan di ruang publik.
Efeknya tidak berhenti di Senayan. Pengadilan di kota-kota kecil ikut berkaca pada standar di tingkat pusat. Cara seorang calon hakim agung memaparkan filosofi pemidanaan akan memengaruhi budaya membaca berkas, menyusun pertimbangan, dan menulis amar putusan. Keluarga korban maupun terdakwa membutuhkan kepastian bahwa ukuran yang dipakai sama di setiap ruang sidang.
Dari sudut pandang redaksi, berita lokal tidak selalu berarti peristiwa yang terjadi di kota sendiri. Terkadang yang disebut lokal adalah dampaknya. Jika standar di puncak jelas, kepercayaan di tingkat bawah ikut tumbuh. Bila penjelasan metodologis terang, perdebatan di warung kopi menjadi lebih cerdas. Pada akhirnya, isu “wakil Tuhan” mungkin menjadi catatan kaki. Yang utama ialah memastikan sistem peradilan berjalan dengan ukuran yang bisa dilihat, diuji, dan diulang, serta calon hakim agung terus menjaga disiplin argumentasi agar keadilan terasa merata.
Baca juga konten dengan artikel terkait tentang: Lokal
Baca juga artikel lainnya: Kapolri Listyo Sigit Akan Diganti? Ini Klarifikasinya: Cek Fakta Resmi