July 26, 2025

INCA BERITA

Berita Terkini Seputar Peristiwa Penting di Indonesia dan Dunia

Bentrok Perbatasan Kamboja dan Thailand Semakin Darurat

Jakarta, incaberita.co.id – Sejak awal abad ke-20, wilayah Bentrok Perbatasan Kamboja dan Thailand sudah menjadi duri dalam daging relasi keduanya. Perseteruan ini terutama mengemuka di sekitar kawasan kuil Preah Vihear, warisan peradaban Khmer yang menjadi titik sengketa terpanas. Meskipun Mahkamah Internasional sudah menetapkan wilayah tersebut sebagai milik Kamboja pada 1962, wilayah sekitarnya tetap disengketakan hingga hari ini.

Salah satu area yang paling kontroversial adalah kawasan yang dikenal sebagai “Segitiga Zamrud”—tanah berbukit, nyaris tak berpenghuni, namun strategis. Di sinilah, konfrontasi yang sempat diredam bertahun-tahun, kembali berkobar pada pertengahan 2025.

Penduduk lokal pun tahu: ketika terdengar helikopter militer berputar di atas hutan, itu pertanda tak baik. Beberapa bahkan mulai menyimpan beras dan air bersih lebih banyak dari biasanya. “Kami sudah hafal pola ini,” ujar Vanna, ibu rumah tangga di Provinsi Oddar Meanchey. “Kalau tentara mulai hilir mudik, biasanya perang kecil akan datang.”

Mei Berdarah—Ketika Peluru Tak Lagi Ditahan

Bentrok Perbatasan Kamboja dan Thailand

Image Source: Viva.co.id

Pada tanggal 28 Mei 2025, pecah baku tembak antara pasukan Thailand dan Kamboja di dekat titik patok tak resmi. Dalam hitungan menit, suara tembakan senapan otomatis menggema, dan laporan menyebutkan satu tentara Kamboja gugur. Pihak Thailand menyebut insiden itu sebagai “tanggapan terhadap provokasi lintas batas”, sementara Kamboja balik menuding bahwa pasukan Thailand menerobos zona netral.

Dua minggu setelahnya, ranjau darat meledak dan melukai lima tentara Thailand. Salah satu dari mereka, Sersan Krittapong, kehilangan kaki kirinya. Foto dirinya dengan wajah penuh luka dan tangan masih menggenggam helm tersebar di media sosial, memicu simpati nasional sekaligus kemarahan publik.

Dalam waktu singkat, pos penjagaan diperkuat, tank-tank ringan mulai diposisikan, dan pesawat pengintai tanpa awak berputar di atas langit perbatasan. Ketegangan ini bukan lagi ketegangan “biasa”. Ini adalah badai yang tinggal menunggu petir terakhir.

Jet Tempur dan Serangan Balik—Saat Diplomasi Lumpuh

Bentrok Perbatasan Kamboja dan Thailand
Bentrok Perbatasan Kamboja dan Thailand

Image Source: Documen Public

Tanggal 24 Juli 2025 menjadi titik balik: bentrokan berskala besar pecah. Tidak hanya senapan atau mortir, kali ini jet tempur F-16 milik Angkatan Udara Thailand dikerahkan untuk menghantam titik dugaan penyimpanan amunisi militer Kamboja.

Kamboja tak tinggal diam. Mereka membalas dengan roket BM-21, menyerang dua desa di wilayah Si Saket. Akibatnya, dua warga sipil Thailand meninggal dunia, termasuk seorang anak sekolah dasar yang tengah bermain layangan.

Sebanyak 40 ribu warga Thailand di 86 desa diperintahkan mengungsi. Di sisi Kamboja, ribuan orang juga meninggalkan ladang dan rumah mereka. Sekolah ditutup. Rumah sakit darurat didirikan. Dan media nasional di kedua negara memberitakan narasi masing-masing: “Kami diserang” menjadi kalimat pembuka di hampir semua headline.

Sementara itu, Perdana Menteri Kamboja membawa isu ini ke Mahkamah Internasional, menuntut pengakuan legal yang lebih tegas. Thailand menolak dan menganggap jalur bilateral lebih tepat.

Retaliasi Tak Hanya di Medan Tempur—Perang Ekonomi dan Budaya

Konflik perbatasan ini kemudian menjalar ke aspek-aspek lain. Thailand langsung menutup tujuh pos lintas batas, membekukan kerja sama perdagangan di wilayah rawan, dan bahkan mengimbau warga negaranya untuk “tidak bepergian ke Kamboja dalam waktu yang belum ditentukan.”

Sebagai balasan, pemerintah Kamboja memblokir akses siaran televisi Thailand, memutus pasokan listrik lintas batas, dan menghentikan kerja sama bahan bakar subsidi. Bahkan—ini agak mengejutkan—Kamboja melarang ekspor buah naga ke Thailand. Kebijakan ini terkesan sepele, tapi bagi petani kecil di perbatasan, artinya cukup dalam: pendapatan musiman mereka raib.

Di satu sisi, banyak warga sipil justru jadi korban utama. Ratusan anak-anak tak bisa melanjutkan sekolah, para petani kehilangan pasar, dan kegiatan keagamaan lintas perbatasan yang biasa digelar pun batal. “Kami ingin damai,” kata Somchai, biksu dari Wat Phra That Samakkhi. “Tapi suara bom lebih keras dari doa kami.”

ASEAN Tertatih dan Jalan Damai yang Masih Jauh

Sebagai organisasi regional, ASEAN tak tinggal diam. Pertemuan darurat digelar di Phnom Penh dan Bangkok secara bergantian. Tapi, seperti banyak kasus sebelumnya, pendekatan non-intervensi membuat hasilnya hanya berupa seruan damai yang tidak mengikat.

Di sisi lain, negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan bahkan Tiongkok mendesak agar konflik ini tidak meluas. Indonesia juga mengusulkan agar ASEAN segera membentuk misi penjaga perdamaian regional—usulan yang hingga kini masih dalam pembahasan.

Namun, di lapangan, semua belum berubah. Ketegangan masih tinggi. Pasukan masih berjaga. Dan warga sipil masih takut. Dalam setiap ketukan arloji, ketidakpastian bertambah satu detik.

Penutup: Ini Bukan Lagi Sengketa Biasa

Bentrok perbatasan Kamboja dan Thailand di tahun 2025 adalah pelajaran pahit tentang bagaimana luka lama bisa terbuka kapan saja. Ia bukan sekadar konflik militer. Ini soal nasionalisme, luka sejarah, dan kegagalan komunikasi.

Dalam kondisi seperti ini, siapa pun bisa menyalakan api. Tapi hanya segelintir yang mampu memadamkannya.

Bagi masyarakat di kedua sisi, harapan mereka sederhana: bisa hidup tanpa takut, bisa bertani tanpa mendengar suara ledakan, dan bisa berharap bahwa pemimpin mereka, suatu hari nanti, akan memilih meja runding ketimbang peluncur roket.

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Global

Baca Juga Artikel dari: Nanjing Ah Hong, Pria Nyamar Jadi Wanita & Jual Video Syur Korban Pria—Sudah 1.600 Korban Terjerat

Author

Copyright @ 2025 Incaberita. All right reserved