Bandara Ilegal Morowali: Skandal IMIP, Kerentanan Regulasi, dan Ancaman Kedaulatan Udara
Jakarta, incaberita.co.id – Belakangan ini publik Indonesia tengah digegerkan oleh sebuah temuan yang mestinya tak terjadi di negeri dengan sistem regulasi penerbangan seperti kita: sebuah bandara beroperasi di provinsi Sulawesi Tengah—tanpa kehadiran aparat negara yang semestinya mengawasi penerbangan sipil. Bandara itu milik PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), dan dikenal sebagai Bandara IMIP. Tuduhan bahwa bandara ini berstatus ilegal memantik kegaduhan nasional, menyentuh rasa aman publik, kedaulatan udara, serta tata kelola zona industri — semua di satu titik kontroversi.
Menurut laporan peneliti dari Indonesia Strategic and Defense Studies (ISDS), operasional Bandara IMIP ini telah berlangsung sejak 2019 tanpa pengawasan resmi dari negara — baik dari bea cukai, imigrasi, maupun otoritas navigasi penerbangan seperti AirNav. Fakta ini membangkitkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin sebuah bandara bisa berjalan bertahun-tahun tanpa sistem pengawasan dan regulasi yang melekat?
Tulisan ini akan membawa Anda menyelami kronologi, temuan kunci, reaksi publik dan pemerintah, hingga potensi dampak dari persoalan yang disebut sebagai “Bandara Ilegal Morowali.”

Image Source: Hukama News
Kesemuanya bermula dari pengungkapan publik pada akhir November 2025. Peneliti ISDS, Edna Caroline Pattisina, menyebut bahwa Bandara IMIP telah beroperasi tanpa otoritas negara sejak 2019 — padahal sejak awal dibangun, bandara ini berada di dalam kawasan industri besar milik IMIP.
Catatan penting:
Tidak ada pos bea cukai atau imigrasi sejak bandara mulai menerima pesawat.
Tidak tersedia layanan navigasi penerbangan (AirNav) untuk mengatur lalu lintas udara di atas bandara tersebut.
Selama ini, kawasan dianggap “tertutup”: petugas negara maupun aparat pengawasan sulit masuk ke area.
Temuan ini lantas memicu kecaman keras dari ahli hukum yang menilai absennya pengawasan sebagai ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan negara. Bahkan, dalam forum internal pertahanan, disebut bahwa tidak boleh ada “negara dalam negara” — istilah untuk fasilitas yang berjalan sendiri tanpa kontrol negara.
Ketika isu ini viral, banyak publik dan bahkan anggota legislatif mendesak penegakan hukum, klarifikasi status legal Bandara IMIP, serta penertiban bila ditemukan pelanggaran.
Salah satu pemicu kebingungan publik adalah kabar bahwa bandara tersebut diresmikan oleh Presiden Joko Widodo. Banyak unggahan di media sosial menyorong narasi bahwa bandara ilegal itu mendapat “status resmi” pada 2019.
Namun penelusuran fakta menunjukkan bahwa yang diresmikan oleh Presiden pada 2018–2019 sebenarnya adalah Bandara Maleo — bandara publik yang dikelola pemerintah dan berbeda dari Bandara IMIP yang dikelola swasta.
Artinya:
Bandara Maleo: bandara resmi, diawasi pemerintah.
Bandara IMIP: bandara swasta, berstatus domestik non-kelas, dengan izin “terbatas” menurut klaim pengelola.
Perbedaan ini penting karena status hukum, regulasi, dan otoritas pengawasannya berbeda jauh. Meski demikian, absennya petugas imigrasi dan bea cukai tetap dinilai sebagai kegagalan sistem pengawasan atas ruang mobilitas strategis.
Keberadaan bandara yang beroperasi tanpa pengawasan membawa sejumlah potensi risiko serius, terutama terhadap kedaulatan dan keamanan negara.
Tanpa bea cukai dan imigrasi, bandara bisa menjadi jalur keluarnya manusia dan barang tanpa rekam jejak — membuka risiko penyelundupan, perdagangan ilegal, atau eksploitasi komoditas tambang.
Tanpa AirNav, keselamatan penerbangan menjadi pertanyaan besar. Tanpa kontrol lalu lintas udara, koordinasi pendaratan dan lepas landas bisa kacau.
Kawasan industri besar seolah memiliki akses udara tertutup yang lepas dari pantauan negara — ini bisa mengaburkan transparansi, terutama jika ada aktivitas strategis seperti mobilisasi barang tambang besar.
Jika satu zona diizinkan beroperasi tanpa regulasi normal, ini akan meruntuhkan kepercayaan publik pada sistem pengawasan bandara nasional.
Setelah isu ini viral, sejumlah pejabat angkat bicara.
Suntana, Wakil Menteri Perhubungan, menyatakan bahwa Bandara IMIP sudah memiliki izin resmi.
Namun kritik tetap keras. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana izin resmi itu bisa ada tanpa pengawasan bea cukai, imigrasi, atau layanan navigasi penerbangan.
Di sisi legislatif, anggota komisi terkait menyerukan penertiban terhadap bandara jika memang terbukti melanggar regulasi.
Situasi ini mencerminkan ketegangan antara kepentingan regulasi, ekonomi industri, dan aspek kedaulatan nasional — yang harus diselesaikan lewat transparansi dan penegakan hukum tegas.
Bayangkan sebuah pesawat kecil lepas landas dari Jakarta di malam hari, tiba di landasan IMIP, menurunkan beberapa orang dan barang kemudian terbang lagi dalam beberapa jam. Tidak ada bea cukai, tidak ada imigrasi, tidak ada layanan navigasi negara — hanya pagar industri dan keamanan internal. Tanpa catatan resmi, tanpa jejak legalitas.
Kedengarannya seperti adegan film thriller. Tapi menurut berbagai analisis peneliti dan pakar hukum, kondisi seperti ini bisa saja terjadi jika bandara seperti IMIP tetap diabaikan. Banyak pihak menilai ini sebagai “negara dalam negara” — fasilitas yang berjalan sendiri, lepas dari sistem pemerintahan formal.
Anekdot ini fiktif. Tapi bukan tak mungkin menjadi nyata, jika sistem pengawasan dan regulasi tidak segera diperkuat.
Negara bisa kehilangan kontrol atas keluar masuk manusia dan barang melalui jalur tak resmi.
Penyelundupan, pengiriman barang curian atau terlarang, hingga mobilitas tenaga kerja ilegal bisa meningkat.
Setiap mobilisasi barang dari luar negeri tanpa bea cukai berarti potensi kehilangan pendapatan negara.
Jika bandara bisa beroperasi “tanpa izin” sejauh ini, publik akan meragukan integritas pemerintah dalam mengawasi sektor strategis.
Industri yang beroperasi di zona abu-abu regulasi dapat kehilangan kepercayaan investor — baik domestik maupun asing — yang membutuhkan kepastian hukum.
Isu Bandara Ilegal Morowali membuka beberapa hal penting yang perlu diperbaiki segera:
Pemerintah harus melakukan audit menyeluruh: izin, catatan penerbangan, inspeksi fisik.
Penempatan petugas bea cukai, imigrasi, dan kontrol AirNav di bandara — jika legal — atau penutupan jika terbukti melanggar.
Publik mendapatkan akses informasi: peta zona udara, daftar bandara swasta/terbatas, dan status izin.
Penegakan hukum terhadap pelanggaran regulasi dan celah administratif.
Regulasi lebih ketat terhadap pembangunan bandara di dalam kawasan industri, termasuk kewajiban pengawasan oleh negara.
Langkah ini bukan semata menutup bandara, tapi memastikan bahwa setiap titik akses udara dijamin keamanannya — bagi negara dan warga — dan tersentuh hukum bila ada pelanggaran.
Temuan soal Bandara IMIP di Morowali bukan sekadar cerita sensasional. Ini cerminan nyata dari bagaimana sistem regulasi dan pengawasan dapat longgar, jika tidak dijaga dengan baik. Ketika fasilitas strategis seperti bandara beroperasi tanpa kontrol negara — tanpa bea cukai, imigrasi, maupun air navigation — bukan hanya hukum yang dilanggar, melainkan kedaulatan negara sendiri yang dipertaruhkan.
Publik berhak menuntut transparansi, akuntabilitas, serta penegakan hukum tegas. Karena udara — dan kemana pun manusia serta barang terbang — bukan sekadar soal mobilitas. Itu soal keamanan, kepercayaan, dan masa depan kolektif bangsa ini.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal
Baca Juga Artikel Dari: Update Banjir Longsor Sumut: Tim SAR Laporkan Belasan Meninggal dan Evakuasi Massal