Gunung Sakurajima Meletus, Kolom Abu 4,4 Km Ganggu Penerbangan Jepang
JAKARTA, incaberita.co.id – Gunung Sakurajima meletus pada tanggal 17 November 2025 dan kembali menjadi pusat perhatian dunia setelah kolom abu vulkaniknya menjulang hingga sekitar 4,4 kilometer dan memicu gangguan penerbangan di wilayah Kagoshima. Media-media besar di Indonesia memberitakan bahwa semburan abu terasa di beberapa titik kota, sementara otoritas Jepang bergerak cepat mengeluarkan peringatan resmi.
Situasi yang sempat mencekam itu membuka kembali diskusi global mengenai kesiapsiagaan menghadapi letusan gunung berapi aktif, khususnya yang berada dekat permukiman penduduk.

Sakurajima bukan nama baru dalam dunia vulkanologi. Gunung ini kerap meletus dalam skala kecil hingga sedang, namun kali ini intensitasnya terasa jauh lebih kuat. Seorang warga disebut merasakan getaran kecil sebelum suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Jika diceritakan ulang dari kesaksian tersebut, suasana pagi yang tenang mendadak berubah menjadi hiruk pikuk ketika langit mulai dipenuhi abu pekat yang terbawa angin ke arah kota.
Fenomena saat Gunung Sakurajima meletus ini kemudian menarik perhatian media nasional dan internasional, termasuk pemberitaan dari kantor berita Indonesia yang menyoroti gangguan penerbangan akibat jarak pandang menurun.
Peristiwa ketika Gunung Sakurajima meletus kali ini tidak hanya menghadirkan gambaran dramatis mengenai kekuatan alam, tetapi juga memberikan banyak pelajaran penting mengenai kesiapan infrastruktur, mitigasi risiko, dan bagaimana masyarakat merespons keadaan darurat.
Kehadiran gunung berapi aktif yang sangat dekat dengan kota besar seperti Kagoshima memang menciptakan dinamika unik yang tidak ditemukan di wilayah lain. Selalu ada ketegangan antara keindahan lanskap alam Jepang yang ikonik dan ancaman laten dari aktivitas geologi di bawahnya.
Artikel ini membahas secara mendalam mengenai letusan terbaru Sakurajima, dampaknya terhadap dunia penerbangan, respons otoritas, serta konteks ilmiah dan sosial dari peristiwa tersebut. Penjelasan disusun dengan pendekatan human friendly, naratif, dan informatif khas jurnalis profesional, agar pengalaman membacanya terasa hidup, mengalir, dan mudah dipahami tanpa kehilangan unsur akurasi.
Dengan kata lain, momen Gunung Sakurajima meletus dijadikan pintu masuk untuk memahami relasi antara masyarakat modern dan ancaman bencana alam.
Letusan yang terjadi kali ini digolongkan sebagai letusan eksplosif berintensitas sedang, namun dampaknya tetap signifikan. Media nasional seperti CNN Indonesia dan Kompas melaporkan bahwa kolom abu mencapai ketinggian sekitar 4,4 kilometer di atas puncak kawah. Semburan tersebut terpantau jelas melalui rekaman kamera pemantau dan laporan saksi mata di kawasan sekitar.
Di lapangan, abu mulai turun secara perlahan dan menutupi sebagian jalan, kendaraan, serta area permukiman. Abu vulkanik, meskipun terkesan lembut seperti pasir, sebenarnya merupakan material tajam mikroskopis yang dapat mengiritasi mata, merusak mesin kendaraan, serta mencemari udara.
Warga setempat, terutama yang tinggal lebih dekat ke kaki gunung, mengandalkan masker sebagai perlindungan dasar untuk mengurangi risiko gangguan pernapasan. Saat abu turun lebih pekat, visibilitas di beberapa titik kota menurun drastis. Laporan cuaca lokal menunjukkan adanya pola angin yang mendorong abu ke arah timur laut.
Kondisi tersebut merupakan fenomena alami yang sering terjadi ketika Gunung Sakurajima meletus, tetapi saat intensitas abu tinggi, dampaknya bisa meluas ke sektor transportasi, khususnya penerbangan.
Gangguan penerbangan menjadi salah satu dampak paling cepat terasa akibat letusan ini. Abu vulkanik memiliki sifat abrasive yang sangat berbahaya bagi mesin pesawat. Beberapa penerbangan dari dan menuju Bandara Kagoshima mengalami keterlambatan dan pembatalan, seperti dilaporkan oleh media nasional Detik dan Tempo.
Bandara Kagoshima langsung mengaktifkan protokol darurat saat Gunung Sakurajima meletus. Petugas menilai kondisi landasan, arah angin, dan konsentrasi abu. Sejumlah pilot dan maskapai memilih mengalihkan rute atau menunda penerbangan. Hal ini merupakan prosedur standar internasional, seperti yang terjadi saat letusan Gunung Eyjafjallajökull di Islandia.
Bagi penumpang, situasi ini menciptakan pengalaman yang membingungkan namun dapat dimaklumi. Standar keselamatan tetap menjadi prioritas utama.
Badan Meteorologi Jepang (JMA) segera meningkatkan kewaspadaan dan mengeluarkan imbauan resmi. Radius dua kilometer dari kawah ditetapkan sebagai zona terlarang. Kompas menyebutkan bahwa langkah ini sudah sesuai prosedur standar dalam mitigasi bencana vulkanik.
Pemerintah daerah mengerahkan petugas untuk membersihkan jalan dan memastikan kesiapan jalur evakuasi. Satuan pemadam kebakaran turut serta membersihkan jalanan dari abu yang bisa membuat permukaan licin saat hujan.
Di balik layar, ahli gunung api melakukan pemantauan intensif terhadap aktivitas seismik, gas vulkanik, dan deformasi tanah.
Sakurajima merupakan bagian dari sistem kaldera Aira yang terbentuk ribuan tahun lalu. Gunung ini sering meletus dengan tipe vulkanian. Aktivitasnya dipengaruhi oleh letak Jepang yang berada di Cincin Api Pasifik, wilayah rawan gempa dan letusan.
Letusan besar pada awal abad ke-20 pernah menyambungkan pulau Sakurajima dengan daratan utama. Kini wilayah tersebut dihuni ribuan orang, yang berarti setiap kali Gunung Sakurajima meletus, risiko terhadap keselamatan penduduk sangat tinggi.
Abu yang menutupi jalan dan permukiman memaksa warga melakukan pembersihan rutin. Beberapa sekolah meliburkan siswa. Transportasi umum menyesuaikan rute dan kecepatan demi keselamatan.
Sektor pariwisata ikut terdampak. Beberapa wisatawan membatalkan atau menunda perjalanan. Bagi pelaku usaha lokal, letusan seperti ini bukan hal baru, tetapi tetap menyulitkan aktivitas ekonomi harian.
Jepang telah lama dikenal memiliki sistem edukasi kebencanaan yang matang. Dari latihan evakuasi hingga kurikulum khusus, semuanya dirancang untuk membuat masyarakat siap menghadapi bencana.
Letusan ini dapat menjadi refleksi bagi negara lain, termasuk Indonesia. Media nasional menyebut bagaimana Jepang menggunakan teknologi pemantauan canggih sebagai acuan mitigasi bencana.
Abu yang menjulang hingga 4,4 kilometer bisa menyebar ke jalur penerbangan internasional. VAAC mengeluarkan peringatan agar maskapai global waspada.
Di sisi lain, komunitas ilmiah dunia memanfaatkan data letusan untuk riset vulkanologi lanjutan. Aktivitas seperti ini memperkaya pemahaman mengenai sistem magma dan prediksi letusan berikutnya.
Letusan ini menunjukkan bagaimana masyarakat Jepang mampu menjaga keseimbangan antara kesiapan dan ketenangan. Di balik pemandangan abu yang megah, terdapat kerja sama antara warga, pemerintah, dan ilmuwan.
Kesadaran akan potensi bencana alam dan sistem mitigasi yang terintegrasi menjadi kunci utama. Sakurajima, meski bukan gunung terbesar, berhasil mengajarkan dunia bahwa kekuatan alam harus selalu diimbangi dengan kesadaran dan teknologi.
Baca juga konten dengan artikel terkait tentang: Global
Baca juga artikel lainnya: DK PBB Siapkan Voting untuk Pasukan Internasional di Gaza