Ribka Tjiptaning Dilaporkan Imbas Ucapan soal Soeharto, PDIP Pasang Badan
JAKARTA, incaberita.co.id – Ribka Tjiptaning dilaporkan ke Bareskrim Polri setelah ucapannya yang menyebut Soeharto sebagai “pembunuh jutaan rakyat” memicu gelombang kontroversi. Keputusan pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sontak mengguncang ruang publik, mengubah euforia Hari Pahlawan menjadi perdebatan panas di media sosial, forum politik, hingga ruang-ruang diskusi akademik. Di tengah arus opini itu, pernyataan keras Ribka muncul sebagai bara tambahan. Kalimat lugasnya kini menyeret politisi senior PDIP itu ke ranah hukum setelah sekelompok warga melapor ke pihak kepolisian.
Kasus Ribka Tjiptaning dilaporkan ini menjadi potret nyata bagaimana sejarah dan politik kembali bersilang jalan. Masyarakat pun terbelah antara yang menganggap pernyataannya sebagai bentuk keberanian menyuarakan sejarah kelam, dan yang menilainya sebagai penghinaan terhadap simbol nasional.
Kasus Ribka Tjiptaning Dilaporkan Memicu Gelombang Reaksi

Sumber gambar : news.detik.com
Aliansi Rakyat Anti-Hoaks (ARAH) resmi melaporkan Ribka Tjiptaning ke Bareskrim Polri dengan tuduhan menyebarkan informasi bohong dan ujaran kebencian. Laporan itu menyoroti frasa “jutaan rakyat terbunuh” yang dianggap berlebihan dan menyesatkan. Bagi pihak pelapor, pernyataan seperti itu bisa memicu kebencian sosial serta mengaburkan fakta sejarah.
Namun bagi sebagian kalangan, langkah hukum ini dinilai terlalu jauh. Banyak akademisi dan pemerhati kebebasan berpendapat menilai pelaporan Ribka Tjiptaning masih berada dalam ruang diskursus publik, bukan wilayah pidana. Isu tentang peristiwa 1965, pelanggaran HAM, dan peran rezim Soeharto memang lama menjadi luka yang belum selesai dijahit oleh bangsa ini.
PDIP Membela Ribka Tjiptaning yang Dilaporkan ke Bareskrim
Tak butuh waktu lama, suara pembelaan datang dari internal PDI Perjuangan. Beberapa politikus senior partai itu menegaskan bahwa Ribka Tjiptaning dilaporkan bukan karena ujaran kebencian, tetapi karena keberaniannya menyuarakan pandangan politik. Mereka menilai laporan tersebut berpotensi membungkam kritik dan mempersempit ruang demokrasi.
Seorang sumber di internal PDIP menggambarkan Ribka sebagai sosok yang selalu berbicara dari hati, tanpa kalkulasi politik berlebihan. Dalam banyak kesempatan, ia dikenal lantang ketika berbicara soal rakyat kecil dan ketidakadilan sosial. “Ribka tidak sedang menyerang siapa pun, ia hanya menolak pelupaan sejarah,” ujar seorang rekannya.
Akar Kontroversi di Balik Kasus Ribka Tjiptaning Dilaporkan
Pernyataan Ribka Tjiptaning yang dilaporkan ke Bareskrim sebetulnya tidak lahir dari ruang kosong. Dalam perdebatan publik seputar gelar pahlawan untuk Soeharto, sejumlah aktivis HAM mengingatkan bahwa masih banyak luka masa lalu yang belum diakui negara. Pembunuhan massal 1965–1966, pengekangan kebebasan politik, hingga pelanggaran HAM di Timor Timur menjadi deretan catatan sejarah yang sulit dihapus begitu saja.
Dari sisi akademik, para sejarawan mencatat bahwa data korban memang bervariasi. Namun tidak ada yang bisa memungkiri skala kekerasan yang terjadi di era transisi tersebut. Dalam konteks inilah, ucapan Ribka dipandang sebagian orang sebagai simbol perlawanan terhadap upaya pemutihan sejarah.
Kebebasan Berekspresi di Tengah Kasus Ribka Tjiptaning Dilaporkan
Kasus Ribka Tjiptaning dilaporkan membuka kembali perdebatan lama tentang batas antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab hukum. Dalam sistem demokrasi, opini politik harus mendapat ruang, terutama ketika menyangkut tokoh sejarah yang masih menimbulkan luka kolektif. Namun, hukum pidana di Indonesia masih sering digunakan sebagai alat untuk membungkam perbedaan pendapat.
Sebagian pengamat menilai, bila perkara ini berlanjut ke pengadilan, hasilnya akan menjadi preseden penting. Apakah kritik terhadap tokoh sejarah bisa dikategorikan sebagai ujaran kebencian? Ataukah justru menjadi bagian dari upaya bangsa memahami masa lalunya?
Isu yang Melampaui Individu
Di luar sosok Ribka, kasus Ribka Tjiptaning dilaporkan menyentuh persoalan yang lebih besar: bagaimana bangsa ini menghadapi warisan Orde Baru. Soeharto bukan sekadar figur historis, tetapi simbol dari era panjang otoritarianisme yang masih meninggalkan jejak pada banyak aspek kehidupan publik. Saat pemerintah memberi gelar pahlawan, sebagian masyarakat merasa ada upaya melupakan sisi gelap dari masa itu.
Ribka, dengan semua keberaniannya, menjadi katalis untuk mengingat kembali bahwa sejarah bukan hanya tentang kemenangan, tapi juga tentang luka. Reaksi publik yang muncul membuktikan bahwa memori kolektif bangsa ini masih hidup, masih berdebat, dan masih mencari keadilan.
Narasi Publik dan Politik di Tahun Politik
Momen ini juga tidak bisa dilepaskan dari konteks politik menjelang pemilihan umum. Pernyataan Ribka Tjiptaning yang dilaporkan ke Bareskrim dapat dimaknai sebagai refleksi ketegangan antara partai penguasa dan kekuatan oposisi lama yang masih memiliki basis nostalgia. Dalam ruang digital, perdebatan ini dengan cepat berubah menjadi perang narasi antara mereka yang mendewakan stabilitas masa lalu dan mereka yang menuntut pelurusan sejarah.
PDIP tampaknya memilih untuk tetap solid. Pembelaan terhadap Ribka bukan hanya karena loyalitas partai, tapi juga bagian dari posisi ideologis yang menempatkan rakyat dan kebenaran sejarah di atas simbol politik.
Suara Publik dan Etika Demokrasi
Di media sosial, opini publik terbelah. Sebagian pengguna menganggap pernyataan Ribka perlu diapresiasi karena mewakili suara yang selama ini dibungkam. Namun ada pula yang menilai ucapan itu terlalu keras, seolah menghapus jasa-jasa pembangunan yang dilakukan Soeharto.
Bagi pengamat komunikasi politik, dinamika ini memperlihatkan betapa publik Indonesia masih memiliki hubungan emosional yang kuat dengan tokoh-tokoh masa lalu. Soeharto, dengan segala kontroversinya, masih hidup dalam imajinasi sosial sebagai figur paternalistik yang sulit digantikan.
Penutup: Kasus Ribka Tjiptaning Dilaporkan dan Makna Demokrasi
Kasus Ribka Tjiptaning dilaporkan menempatkan bangsa ini di persimpangan penting. Di satu sisi, ada dorongan untuk menjaga wibawa simbol negara dan menghormati keputusan pemerintah. Di sisi lain, ada kebutuhan untuk membuka ruang bagi kebenaran sejarah dan kebebasan berpendapat. Perdebatan ini bukan sekadar tentang satu politisi atau satu tokoh, melainkan tentang bagaimana bangsa ini berdamai dengan masa lalunya.
Sejarah tidak pernah tunggal. Ia selalu berlapis oleh perspektif, kepentingan, dan pengalaman. Ribka Tjiptaning dilaporkan mungkin menjadi awal dari perbincangan panjang tentang siapa yang disebut pahlawan, dan apa arti keadilan dalam memori bangsa.
Baca juga konten dengan artikel terkait tentang: Lokal
Baca juga artikel lainnya: Tiga Karyawan Transjakarta Diduga Dilecehkan Atasan
