UU BUMN 2025 Pertegas Pemisahan Kekayaan Negara
JAKARTA, incaberita.co.id – Di sebuah ruang rapat yang dingin karena AC terlalu kencang, seorang direktur utama menatap proyeksi rencana investasi yang penuh angka. Ia tahu keputusan itu tidak mudah. Return menjanjikan, tetapi risikonya nyata. Selama bertahun-tahun, rasa waswas muncul bukan semata karena risiko bisnis, melainkan bayang-bayang kriminalisasi ketika proyek meleset. Hadirnya UU BUMN 2025 memberi konteks baru. Keputusan komersial yang wajar kini berdiri di atas pijakan hukum yang lebih jelas. Kerugian korporasi tidak otomatis diseret sebagai kerugian negara. Implikasi ini merembet ke tata kelola, audit, dan pola pikir manajemen. Bukan berarti semua bebas. Justru standar kehati-hatian harus naik kelas. Ketakutan yang dulu membuat organisasi kaku mulai bergeser menjadi keberanian yang terukur.

Sumber gambar : uib.ac.id
Inti pembaruan dapat diringkas menjadi tiga hal. Pertama, penegasan bahwa kekayaan BUMN dipisahkan dari keuangan negara. Konsekuensinya, laba dan rugi BUMN menjadi milik entitas BUMN. Kerugian BUMN tidak serta-merta dikualifikasi sebagai kerugian negara. Ini mengoreksi praktik yang sering menyeret keputusan bisnis murni ke ranah pidana tanpa memilah konteks korporasi.
Kedua, penguatan business judgment rule. Direksi dan komisaris yang mengambil keputusan dengan itikad baik, berbasis informasi memadai, bebas konflik kepentingan, dan sesuai tujuan korporasi, memperoleh perlindungan. Mereka tetap bertanggung jawab secara manajerial, tetapi tidak otomatis dipidanakan hanya karena hasil akhirnya rugi.
Ketiga, arsitektur pengelolaan BUMN berubah dengan hadirnya BPI Danantara untuk mengelola portofolio secara strategis. Di sisi pemegang saham, Seri A Dwiwarna tetap menjadi instrumen kekuasaan khusus. Peran BPK dipertegas pada penggunaan dana pemerintah, termasuk PMN. Proses bisnis reguler tunduk pada standar audit dan tata kelola korporasi, sehingga BUMN didorong bergerak lincah namun akuntabel.
Dampaknya strategis. Pertama, kepastian hukum meningkat. Banyak pengambil keputusan menahan proyek bernilai tambah karena khawatir salah langkah. Dengan kerangka UU BUMN 2025, garis batas antara risiko bisnis dan pelanggaran hukum lebih jelas.
Kedua, kualitas governance justru dituntut naik. Perlindungan BJR bukan cek kosong. Dokumentasi keputusan, risalah rapat, kajian risiko, fairness opinion, dan justifikasi komersial perlu rapi serta terukur. Keputusan harus dapat diuji secara ex ante, bukan hanya dari hasilnya.
Ketiga, daya saing investasi menguat. BUMN sebagai investor dan operator di berbagai sektor punya ruang gerak lebih profesional. Ketika kecepatan menjadi faktor penentu, infrastruktur hukum seperti ini membantu proses komersial tanpa mengorbankan akuntabilitas. Uji materi terhadap beberapa pasal tetap perlu dipantau agar tafsirnya selaras dengan rezim Tipikor dan definisi keuangan negara.
Banyak yang menyebut BJR sebagai tameng. Lebih tepat, BJR adalah pagar pembeda antara keputusan yang salah secara hasil dan keputusan yang cacat secara proses. Anekdot singkat. Seorang direktur investasi mengusulkan akuisisi pabrik bahan baku. Valuasi wajar menurut penilai independen. Ada due diligence hukum, finansial, dan operasional. Dewan komisaris menyetujui setelah menguji skenario risiko harga komoditas.
Dua tahun kemudian, harga jatuh. EBITDA melorot. Proyek tampak gagal. Di masa lalu, kasus seperti ini rawan ditarik ke isu kerugian negara. Di bawah UU BUMN 2025, proses yang prudent, bebas konflik, dan berbasis informasi memadai menjadi penentu. Bila jejak keputusan tertata, akuntabilitas korporasi berjalan. Kriminalisasi atas risiko bisnis dapat dihindari.
Artinya, BJR menuntut kedewasaan proses. Tidak cukup menyimpan presentasi singkat. Harus ada analisis sensitivitas, notulen lengkap, pertimbangan alternatif, serta konfirmasi independen. Komite audit dan komite risiko memerlukan daftar tilik yang hidup. Auditor internal menggeser fokus dari kepatuhan dokumen menuju kualitas pengambilan keputusan. Jika ada kelalaian, manipulasi, atau konflik kepentingan, payung BJR runtuh.
Kemunculan BPI Danantara kerap disalahpahami seolah semua urusan BUMN pindah ke satu lembaga. Faktanya, BPI Danantara memegang mandat strategis untuk pengelolaan portofolio, termasuk fungsi investasi lintas entitas. Tujuannya menyatukan arah dan meningkatkan nilai ekonomi BUMN secara terukur.
Kementerian BUMN tetap berperan pada kebijakan sektoral dan pengawasan sebagai representasi kepemilikan Seri A Dwiwarna pada holding yang relevan. Di level akuntabilitas eksternal, BPK menajamkan peran pada penggunaan dana publik, terutama PMN, penugasan pemerintah, dan aliran yang bersentuhan langsung dengan APBN. Audit operasional harian dan pelaporan keuangan entitas mengikuti standar audit korporasi oleh auditor independen.
Kombinasi ini menuntut sinkronisasi pedoman. BUMN perlu memetakan risiko yang membedakan area beririsan dengan keuangan negara dan area murni komersial. Pengendalian internal harus mengatur pemisahan itu, misalnya melalui alur persetujuan terpisah, pelabelan transaksi, serta pelacakan biaya pada penugasan pemerintah.
Perdebatan tentang definisi kerugian negara yang merangkum kekayaan negara yang dipisahkan memang panjang. Putusan dan doktrin sebelumnya memberi ruang tafsir yang lebar. UU BUMN 2025 mencoba mempertegas batas. Proses uji materi di Mahkamah Konstitusi hadir sebagai kanal penjernih.
Putusan yang menolak uji formil menguatkan keberlakuan UU. Sidang materiil memeriksa koherensi pasal dengan UUD NRI. Dari sudut pandang praktis, penegak hukum memperoleh tolok ukur. Bila perkara berkaitan dengan dana publik, PMN, atau penugasan yang menyentuh APBN, jalur pertanggungjawaban negara tetap relevan. Bila murni keputusan bisnis yang terdokumentasi baik, landasannya rezim perseroan dan pasar modal.
Ini tidak melemahkan hukum. Justru penapisan menjadi lebih presisi sehingga alat penegakan digunakan tepat sasaran. Ke depan, edukasi bagi penyidik, jaksa, auditor, dan hakim mengenai penerapan BJR serta cara menilai proses bisnis perlu diperkuat. Tanpa literasi yang cukup, tafsir bisa kembali melebar.
Pertama, formalkan proses pengambilan keputusan. Setiap investasi dan aksi korporasi harus punya kertas kerja risiko, asumsi finansial, opsi alternatif, dan dasar pemilihan. Kedua, perkuat manajemen konflik kepentingan. Bentuk register kepentingan, minta pernyataan berkala, dan tegakkan kewajiban mengundurkan diri dari pembahasan jika ada potensi benturan.
Ketiga, tingkatkan kualitas notulen. Catat angka kunci, perdebatan, rujukan pihak independen, serta dissenting view. Keempat, mapping area yang bersentuhan dengan APBN. Tandai transaksi yang melibatkan PMN atau penugasan pemerintah, atur jalur auditnya, dan siapkan pengungkapan yang jelas. Kelima, laporkan dan evaluasi berkala. Audit internal tidak berhenti pada kepatuhan prosedur, tetapi menguji mutu keputusan secara ex ante.
Pada akhirnya, UU BUMN 2025 bukan karpet merah bagi keputusan berisiko. Esensinya adalah mendisiplinkan proses agar keberanian manajerial punya landasan hukum yang kokoh. Kerugian BUMN tidak otomatis menjadi kerugian negara. Ini kabar baik bagi ekosistem yang butuh kecepatan.
Namun kabar baik datang bersama tanggung jawab yang lebih besar. Dokumentasi yang rapi, etika yang dijaga, dan kontrol yang berjalan harian menjadi kunci. Jika tiga hal itu menguat, BUMN dapat bergerak seperti korporasi kelas dunia, sekaligus tetap menjadi instrumen strategis negara. Sesekali ada salah ketik kecil di memo atau angka yang perlu diperbaiki menjelang rapat. Wajar. Yang penting, niat baik, proses yang cermat, dan jejak keputusan yang bersih tetap menjadi kompas. Di situlah regulasi baru ini menemukan maknanya.
Baca juga konten dengan artikel terkait tentang: Lokal
Baca juga artikel lainnya: Ulang Tahun Presiden Prabowo Ke-74, Pemerintah Tegaskan Komitmen Layanan Publik