Tax Amnesty Jilid III Ditolak Purbaya, Pemerintah Pilih Perkuat Kepatuhan Pajak
JAKARTA, incaberita.co.id – Pernyataan tegas itu datang tanpa basa-basi. Tax Amnesty Jilid III dinilai bukan jawaban untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang, apalagi jika dijadikan program berkala. Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang baru, Purbaya menilai pengampunan pajak yang diulang-ulang memberi pesan yang salah bagi wajib pajak. Bukan membangun budaya taat, program semacam itu justru menumbuhkan harapan akan pengampunan berikutnya. Pendekatan fiskal yang masuk akal adalah memperkuat penegakan aturan, memodernisasi administrasi, dan memperluas basis pajak, bukan mengejar penerimaan instan.
Di ruang konferensi pers, kalimatnya ringkas. Jika Tax Amnesty dilakukan berkali-kali, kredibilitas kebijakan perpajakan bisa terkikis. Sinyal kebijakan menjadi kabur: patuh sekarang atau menunggu pengampunan lagi beberapa tahun ke depan. Itulah yang Purbaya sebut sebagai risiko moral hazard. Di sinilah simpul persoalan muncul. Negara butuh penerimaan, tetapi cara meraihnya tidak boleh mengorbankan fondasi kepatuhan. Ia memilih jalan yang lebih terjal: memperkuat ekosistem kepatuhan pajak dari hulu ke hilir.
Latar Kebijakan Tax Amnesty Jilid III: Dari Amnesti, PPS, hingga Wacana Jilid III

Sumber gambar : bacakoran.co
Untuk memahami mengapa penolakan Tax Amnesty Jilid III terdengar keras, perlu menoleh sebentar ke belakang. Indonesia pernah menjalankan program pengampunan pada 2016, disusul Program Pengungkapan Sukarela pada 2022. Keduanya mendorong deklarasi aset dan tebusan dalam jangka waktu terbatas. Di atas kertas, penerimaan jangka pendek meningkat. Tapi efek jangka panjangnya bergantung pada tindak lanjut administrasi pajak, penegakan, serta kejelasan bahwa pengampunan tidak akan jadi rutinitas.
Wacana Tax Amnesty Jilid III belakangan muncul di parlemen lewat daftar prioritas legislasi. Dari sudut politik anggaran, ini menggoda, terutama saat kebutuhan pembiayaan meningkat dan penerimaan perpajakan menghadapi tantangan. Namun Purbaya berargumen, mengulang amnesti mengaburkan garis tegas antara kepatuhan dan pelanggaran. Jika pengampunan dianggap “pintu cadangan”, sebagian pihak bisa menunda keterbukaan aset. Ketika sebuah kebijakan memberi ruang untuk menunggu kesempatan berikutnya, dampaknya tidak hanya pada kas negara, tetapi juga keadilan bagi wajib pajak yang sudah patuh sejak awal.
Di periode ini, arah Kementerian Keuangan cenderung menata ulang instrumen yang lebih struktural. Administrasi pajak digital, integrasi data pihak ketiga, pemetaan risiko wajib pajak besar, hingga penguatan audit berbasis data menjadi prioritas. Fokusnya: kepatuhan berkelanjutan, bukan sekadar lonjakan sesaat.
Pro dan Kontra: Jalan Pintas Penerimaan vs Fondasi Kepatuhan
Argumen pro Tax Amnesty Jilid III biasanya bertumpu pada target penerimaan jangka pendek dan peluang repatriasi aset. Dalam kondisi fiskal yang menantang, lonjakan tebusan bisa memberikan ruang fiskal. Selain itu, ada pandangan bahwa amnesti membantu “reset” basis data aset. Tetapi konsekuensinya tidak murah. Jika amnesti menjadi pola, keadilan bagi pembayar pajak patuh dipertanyakan. Mereka telah membayar tepat waktu, melaporkan aset dengan benar, dan menanggung biaya kepatuhan. Kebijakan pengampunan berulang seakan memberi hadiah pada keterlambatan, bahkan pelanggaran.
Di sisi kontra, Purbaya menekankan risiko moral hazard. Ketika pelaku pasar membaca pola pengampunan periodik, sebagian akan menahan pelaporan dan mencoba “menebak” kapan sesi berikutnya. Ini fenomena ekspektasi kebijakan: perilaku diubah bukan oleh aturan hari ini, melainkan oleh dugaan aturan esok hari. Dampak lainnya ialah erosi kepastian hukum. Dunia usaha membutuhkan kejelasan: apakah ada pengampunan lagi atau tidak. Jawaban yang tegas memudahkan perencanaan. Ketika pemerintah menyatakan menolak Tax Amnesty Jilid III, sinyal yang keluar adalah “kepatuhan permanen” menjadi orientasi, bukan “pemutihan periodik”.
Tentu ada yang menilai penegakan tanpa amnesti akan lebih berat. Mengawasi penghindaran pajak lintas yurisdiksi, beneficial ownership, transaksi antar afiliasi, dan aset keuangan digital bukan pekerjaan ringan. Di sinilah modernisasi administrasi dan integrasi data berperan. Core tax system, pertukaran informasi otomatis, analitik risiko, dan audit tematik menjadi alat. Jika alat-alat ini berjalan konsisten, manfaatnya melampaui penerimaan sesaat: perilaku pasar berubah, budaya patuh terbentuk.
Dampak untuk Wajib Tax Amnesty Jilid III: Dari Strategi Kepatuhan hingga Dokumentasi
Apa arti penolakan Tax Amnesty Jilid III bagi wajib pajak? Pertama, ekspektasi pengampunan ulang perlu ditutup. Wajib pajak yang selama ini menunda pelaporan atau deklarasi aset sebaiknya meninjau posisi secara menyeluruh. Jalur kepatuhan reguler, termasuk pembetulan Surat Pemberitahuan, lebih aman dibanding berjudi pada wacana amnesti yang belum tentu ada. Kedua, dokumentasi transaksi harus diperkuat. Untuk korporasi, ini menyangkut transfer pricing, struktur kepemilikan, pengendali manfaat, dan alur nilai tambah. Bagi individu berpenghasilan tinggi, transparansi aset dan arus kas menjadi kunci.
Contoh sederhana namun relevan bisa diambil dari bisnis menengah yang sedang berekspansi. Perusahaan memanfaatkan pembiayaan antar entitas dalam grup. Tanpa dokumentasi transfer pricing yang memadai, otoritas pajak dapat menilai adanya penggerusan basis pajak. Dengan corak penegakan baru, pemeriksaan lebih berbasis data dan perbandingan industri. Jika dokumentasi rapih, risiko koreksi turun. Sementara itu, bagi pelaku usaha kecil menengah, integrasi dengan ekosistem digital perpajakan mempermudah pencatatan dan pelaporan. Keteraturan adalah proteksi termurah.
Ketiga, manajemen risiko pajak perlu masuk agenda rapat direksi. Bukan untuk mencari ruang abu-abu, melainkan untuk memastikan pengendalian internal kuat. Di sini, konsultan pajak tidak menggantikan tanggung jawab manajemen. Mereka mitra, bukan tameng. Perubahan nada kebijakan menuju kepatuhan yang ditegakkan berarti ada konsekuensi jika kontrol internal lemah. Purbaya memang tidak sedang mencari popularitas. Ia sedang menata insentif, agar patuh menjadi pilihan rasional.
Implikasi bagi Penerimaan dan Pasar: Kepastian di Atas Kejutan
Tanpa Tax Amnesty Jilid III, penerimaan instan dari tebusan jelas tidak ada. Namun, kepastian kebijakan justru dapat menciptakan lingkungan usaha yang lebih stabil. Investor membaca sinyal kebijakan sama seriusnya dengan angka pajak itu sendiri. Kepastian tentang arah kebijakan memungkinkan proyeksi arus kas yang lebih akurat. Dari sisi fiskal, Kementerian Keuangan harus menutup celah penerimaan melalui cara yang lebih berkelanjutan: memperluas basis pajak, memperkuat kepatuhan, serta menekan kebocoran.
Di level makro, konsistensi penegakan dapat berdampak ke peringkat kemudahan berusaha, persepsi korupsi, dan premi risiko negara. Jika reformasi administrasi pajak berjalan beriringan dengan efisiensi belanja, pasar melihat sinyal tata kelola yang membaik. Di masa transisi, mungkin ada gesekan. Pemeriksaan bisa terasa lebih intens, permintaan data lebih rinci, dan waktu penyelesaian lebih disiplin. Namun gesekan ini lebih seperti penyesuaian menuju standar baru.
Sebuah anekdot yang kerap mengemuka di lingkungan fiskal: kebijakan yang tegas kadang kurang disukai di awal, tetapi dihormati kemudian. Perusahaan yang sudah patuh merasakan manfaatnya lebih dulu karena persaingan menjadi lebih adil. Sementara itu, pemain yang selama ini memanfaatkan celah mengubah strategi. Pada akhirnya, penerimaan yang lebih luas dan stabil lebih berharga dibanding lonjakan sesaat yang menuntut pengampunan ulang setelahnya.
Peta Jalan Tax Amnesty Jilid III: Dari Penegakan ke Budaya Patuh
Penolakan Tax Amnesty Jilid III hanya satu bagian dari peta jalan yang lebih besar. Intinya adalah membangun budaya patuh. Beberapa elemen yang menonjol dalam peta jalan tersebut antara lain penguatan data, pengawasan berbasis risiko, serta layanan berbasis digital yang sederhana dan konsisten. Integrasi data perbankan, kepemilikan aset, dan transaksi lintas batas memperkecil ruang untuk tidak transparan. Pada saat yang sama, pelayanan yang mudah mengurangi biaya kepatuhan. Kombinasi “keras pada penggelapan” dan “ramah pada kepatuhan” adalah resep yang masuk akal.
Di sisi komunikasi, pesan publik harus konsisten. Pemerintah perlu menjelaskan bahwa penolakan Tax Amnesty Jilid III bukan penolakan pada rekonsiliasi, melainkan penegasan bahwa rekonsiliasi dilakukan melalui mekanisme reguler: pembetulan, konsultasi, dan layanan yang memudahkan pelaporan benar sejak awal. Pelajaran dari program terdahulu tetap diambil, tetapi tidak dijadikan alasan mengulang resep yang rawan disalahartikan.
Terakhir, kolaborasi dengan dunia usaha penting. Forum konsultatif, pedoman kepatuhan sektoral, dan publikasi putusan pajak yang teranonomisasi dapat membantu pelaku usaha memahami standar pembuktian. Ketika standar jelas, kepastian meningkat. Ketika kepastian meningkat, kepatuhan tumbuh lebih alami.
Penutup: Menangkap Esensi Kepatuhan
Pada akhirnya, inti pesan Purbaya sederhana: membangun kepatuhan pajak itu proses panjang yang menuntut konsistensi. Tax Amnesty Jilid III mungkin menggoda dari sisi kas jangka pendek, tetapi sinyalnya tidak bersahabat bagi perilaku jangka panjang. Kebijakan fiskal yang dewasa memilih kepastian di atas kejutan, fondasi di atas jalan pintas. Jalan ini menuntut kerja lebih keras dari otoritas pajak dan wajib pajak, membutuhkan dokumentasi yang lebih rapi, dan mengharuskan disiplin prosedur. Namun hasilnya lebih tahan lama.
Dalam beberapa bulan ke depan, publik akan menilai apakah penolakan terhadap Tax Amnesty Jilid III diikuti langkah nyata: audit berbasis data, layanan yang memudahkan kepatuhan, dan sanksi yang proporsional. Jika tiga hal ini berjalan, pesan kebijakan akan terbaca utuh. Kepatuhan bukan sekadar slogan, melainkan kebiasaan yang masuk akal. Pada saat itu, penolakan amnesti berulang tidak lagi terlihat keras, melainkan wajar, karena sistemnya sendiri sudah membuat patuh menjadi pilihan paling rasional.
Baca juga konten dengan artikel terkait tentang: Lokal
Baca juga artikel lainnya: Satgas BLBI Terancam, Purbaya Minta Perbaikan atau Pembubaran
