Pestapora Putus Kerjasama dengan Freeport: Musik Bertabrakan

Jakarta, incaberita.co.id – Festival musik Pestapora dikenal sebagai salah satu ajang terbesar yang menampung ratusan musisi lintas genre. Setiap tahun, ribuan orang dari berbagai kota rela antre panjang hanya demi merasakan atmosfer musik yang khas: meriah, penuh warna, dan dekat dengan anak muda. Tahun 2025 seharusnya menjadi perayaan paling spektakuler, apalagi lineup yang diumumkan sejak awal menuai antusiasme luar biasa.
Namun Pestapora Putus Kerjasama, di balik panggung yang dipenuhi gemerlap lampu dan sorakan penonton, sebuah kabar mengejutkan tiba-tiba pecah. Sponsor utama yang muncul di latar belakang bukan hanya merek minuman atau aplikasi digital seperti biasanya, melainkan perusahaan tambang raksasa: PT Freeport Indonesia.
Bagi sebagian orang awam, mungkin hal ini bukan masalah. Tapi bagi komunitas musik independen yang lekat dengan isu sosial, nama Freeport langsung memantik tanda tanya. “Lho, kok bisa Freeport masuk?” celetuk Ana, seorang mahasiswa jurnalis kampus yang datang bersama teman-temannya. Ia bahkan sempat berhenti di depan spanduk besar bertuliskan slogan Freeport. “Ini festival musik atau pameran tambang?” tambahnya sambil menggeleng.
Suasana pun mendadak berubah. Media sosial ramai membicarakan kehadiran sponsor tambang dalam festival yang biasanya dianggap rumah bagi ekspresi bebas. Apa yang awalnya pesta musik, tiba-tiba menjadi ruang perdebatan moral.
Protes Musisi dan Reaksi Publik
Image Source: Radar Solo
Tak lama setelah nama Freeport terpampang jelas, satu per satu musisi menyatakan sikap. Band-band seperti Durga, Negatifa, Leipzig, Sukatani, The Jeblogs, Kelelawar Malam, Rekah, Xin Lie, Ornament, Rragband, Centra, hingga Rebellion Rose memilih mundur. Keputusan itu diambil bukan tanpa risiko, karena tampil di Pestapora biasanya menjadi momentum besar bagi karier mereka.
Pestapora Putus Kerjasama, sukatani misalnya mengumumkan pembatalan hanya beberapa jam sebelum naik panggung. Mereka menulis di media sosial bahwa keputusan ini sulit, tetapi hati nurani tak bisa berbohong. Rebellion Rose bahkan tetap datang ke panggung, bukan untuk bernyanyi, melainkan untuk berorasi di depan penonton. Mereka mengatakan, “Kami hadir untuk kalian, bukan untuk sponsor.” Penonton pun berteriak memberi dukungan, meski ada rasa kecewa karena setlist idola mereka tidak dimainkan.
Tagar #BoikotPestapora langsung memuncaki trending di media sosial. Banyak yang menilai festival musik seharusnya steril dari kepentingan bisnis yang merugikan masyarakat atau lingkungan. Ada pula yang menyindir, “Jangan-jangan tahun depan sponsor berikutnya perusahaan sawit atau senjata?” Kritik ini menegaskan keresahan publik bahwa musik bisa kehilangan jiwanya jika hanya dijadikan etalase promosi.
Anekdot kecil dari penonton bernama Rudi menggambarkan suasana itu. Ia datang dengan semangat karena ingin menonton band idolanya, tapi akhirnya hanya bisa melihat panggung kosong. “Sedih, tapi gue ngerti. Mereka punya alasan yang lebih besar dari sekadar manggung,” ujarnya lirih sambil menyalakan rokok di pojok area festival.
Keputusan Panitia dan Refleksi Nilai
Gelombang protes yang semakin deras membuat panitia Pestapora berada di posisi sulit. Mereka dihujani kritik, sementara lineup mendadak berkurang. Pada akhirnya, sebuah pengumuman resmi dirilis pada 6 September 2025: Pestapora memutus kerjasama dengan Freeport, efektif sejak hari itu juga.
Keputusan itu disampaikan lewat pernyataan publik yang tegas, bahwa mereka tidak lagi terafiliasi dengan Freeport. Namun, tak sedikit yang menilai langkah ini telat. “Kenapa tidak dari awal?” tanya sebagian orang. Meski begitu, banyak juga yang mengapresiasi keberanian panitia mengambil keputusan meski risikonya besar.
Bayangkan suasana di balik layar. Seorang panitia bernama Rian tergopoh-gopoh melepas logo sponsor dari backdrop panggung. Keringat bercucuran, sementara kru lain sibuk menata ulang properti. “Tolong jangan bilang siapa-siapa, ini mendadak banget,” gumamnya sambil mencabut kain bertuliskan nama perusahaan tambang itu. Gambaran ini menunjukkan betapa dramatisnya transisi dalam waktu singkat.
Pestapora akhirnya memilih nilai di atas materi. Musik, yang seharusnya menjadi ruang solidaritas, kembali merebut identitasnya. Keputusan ini bukan hanya soal sponsor, tetapi tentang menjaga integritas ruang seni.
Kontroversi Tambang dan Reputasi Freeport
Kenapa protes begitu keras? Jawabannya terletak pada reputasi Freeport. Perusahaan tambang yang beroperasi di Papua ini sudah lama menuai kritik. Isu lingkungan, pencemaran, hingga pelanggaran hak asasi manusia kerap dikaitkan dengan aktivitasnya. Bagi para musisi yang tumbuh di era digital, isu-isu ini mudah diakses, mudah dibaca, dan tak bisa diabaikan.
Kontrak karya Freeport sendiri sudah berlangsung puluhan tahun, dengan perpanjangan yang menimbulkan banyak perdebatan politik dan ekonomi. Di satu sisi, kontribusi pajak dan dividen disebut besar. Tapi di sisi lain, kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial di Papua menjadi luka yang terus terbuka.
Bagi penonton muda di Pestapora, nama Freeport mungkin awalnya terdengar asing. Namun setelah viral di media sosial, banyak yang buru-buru mencari tahu. “Ternyata sejarahnya panjang banget dan banyak masalah,” kata Lala, seorang penonton yang awalnya hanya ingin selfie di depan panggung. Ia mengaku kaget mengetahui bahwa perusahaan sponsor festival musik favoritnya punya catatan kontroversial yang rumit.
Keterlibatan Freeport akhirnya dianggap tidak sejalan dengan semangat festival musik yang inklusif dan ramah generasi muda. Sebab, musik tak sekadar hiburan—ia juga medium kritik, kesadaran, dan perubahan sosial.
Implikasi untuk Festival dan Tren Masa Depan
Putusnya kerjasama Pestapora dengan Pestapora Putus Kerjasama menjadi preseden penting bagi industri festival di Indonesia. Keputusan ini menandakan bahwa penyelenggara harus lebih selektif dalam memilih sponsor. Uang memang penting untuk membiayai acara sebesar Pestapora, tetapi integritas jauh lebih mahal nilainya.
Kita bisa membayangkan, festival lain kini ikut berhitung. Sebut saja “JazzPantura” atau “IndieFest” yang mungkin sedang menimbang daftar calon sponsor. Mereka tentu tak ingin dicap menjual idealisme hanya demi dana. Sosial media sudah terbukti menjadi pengawas paling kejam: sekali salah langkah, reputasi bisa hancur dalam hitungan jam.
Meski begitu, keputusan Pestapora mendapat banyak apresiasi. Netizen menyebut panitia berani memilih jalan sulit. Bahkan, beberapa musisi yang sempat mundur tetap memberikan dukungan moral. Kritik tetap ada, terutama soal timing yang mendadak, tapi setidaknya arah sudah jelas: musik tidak boleh tunduk pada kepentingan yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan.
Di ujung cerita ini, kita bisa melihat bahwa festival musik bukan hanya soal hiburan. Ia juga bisa menjadi panggung politik, arena kritik, sekaligus ruang solidaritas. Pestapora 2025 menjadi contoh bagaimana musik mampu mengguncang bukan hanya hati penonton, tapi juga korporasi besar yang terbiasa bermain di level negara.
“Ketika musik bersuara, bahkan perusahaan tambang sebesar Freeport pun bisa goyah,” begitu komentar seorang penonton yang menutup harinya dengan wajah puas.
Penutup
Pestapora putus kerjasama dengan Freeport bukan sekadar kabar industri hiburan. Ia adalah simbol bahwa generasi muda Indonesia semakin kritis, semakin sadar, dan berani bersuara. Festival musik kini tak hanya dinanti karena lineup artisnya, melainkan juga karena keberpihakan nilai di balik panggung.
Panggung musik boleh saja berhias lampu sorot dan dentuman bass, tapi di balik itu ada percakapan panjang tentang siapa yang pantas berdiri di sampingnya. Pestapora sudah memilih jalannya: berpihak pada musik, penonton, dan nilai.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal
Baca Juga Artikel Dari: Delpedro Marhaen, Aktivis yang Jadi Tersangka Provokator!