Gibran Lepas Sepatu di Acara: Simbol Kesederhanaan Politik?

Jakarta, incaberita.co.id – Suasana acara resmi di salah satu gedung pemerintahan mendadak berubah hangat. Pasalnya, Wakil Presiden terpilih Gibran Lepas Sepatu sebelum melangkah ke atas panggung acara. Momen itu tidak berlangsung lebih dari 30 detik. Namun cukup untuk mengubah satu ruangan menjadi perbincangan nasional.
Dalam video yang beredar luas di media sosial, terlihat Gibran berdiri sebentar di depan tangga podium, lalu membungkuk melepas sepatu kulit hitamnya dan berjalan naik dengan hanya mengenakan kaus kaki. Beberapa tamu undangan terlihat tersenyum, ada yang bertepuk tangan kecil, dan sisanya—terlihat bingung namun tak bisa berpaling.
Warganet bereaksi cepat. Tagar #GibranLepasSepatu trending di X (sebelumnya Twitter) hanya dalam beberapa jam. Pendukung menyebut itu sebagai simbol kesederhanaan dan sikap menghormati ruangan, sementara pihak kritis menyebutnya sebagai “drama politik gaya baru”.
Saya yang saat itu sedang meliput agenda berbeda pun akhirnya tertarik menggali lebih dalam. Benarkah momen ini sekadar refleks spontan? Atau ada makna strategis yang lebih dalam?
Konteks Budaya: Melepas Sepatu Bukan Hal Asing di Indonesia
Image Source: YouTube
Sebelum kita masuk ke tafsir politik, mari kita pahami dulu dari sisi budaya dan adat. Di banyak wilayah Indonesia—dari Aceh hingga Papua—melepas alas kaki saat memasuki rumah, tempat ibadah, atau ruang sakral merupakan bagian dari norma kesopanan.
Bahkan, di beberapa daerah seperti Bali dan Jogja, ada aturan adat yang cukup ketat terkait kebersihan dan kesucian lantai ruangan utama. Tidak sembarang orang boleh masuk dengan sepatu, terlebih jika ruangannya dipandang punya nilai spiritual atau simbolik tertentu.
Dalam konteks acara formal seperti pelantikan, kunjungan resmi ke pondok pesantren, atau upacara adat, melepas sepatu bisa menjadi tanda penghormatan terhadap tempat dan tuan rumah. Namun, acara tempat Gibran melepas sepatu kemarin bukanlah agenda budaya atau keagamaan, melainkan agenda pemerintahan dengan protokol nasional.
Itulah yang membuat aksinya menarik. Ia melakukan tindakan yang identik dengan konteks kultural ke dalam acara birokrasi formal. Tidak melanggar hukum, tapi keluar dari pakem.
Seorang budayawan asal Solo yang saya wawancarai menyebut, “Itu bukan sekadar spontanitas. Orang Jawa, apalagi dari keluarga ningrat modern seperti Gibran, sangat peka terhadap simbol dan ruang. Bisa jadi itu caranya menghormati suasana, bisa juga sebagai komunikasi visual.”
Komunikasi Simbolik ala Gibran: Strategi, Gaya, atau Kedua-duanya?
Dalam dunia politik, setiap gestur bisa bermakna lebih dari sekadar gerakan. Duduk, berdiri, senyum, bahkan pilihan baju bisa menjadi sinyal politik. Gibran—yang kini semakin akrab dengan sorotan publik pasca Pilpres—jelas bukan orang baru dalam dunia komunikasi visual.
Beberapa pengamat politik menyebut aksi lepas sepatu ini sebagai “soft rebellion terhadap formalitas protokol.” Gibran dikenal bergaya santai, sering memakai sneakers ke forum diskusi, dan tak segan menyapa wartawan tanpa jas resmi. Maka ketika ia melepas sepatu di panggung, bisa jadi itu adalah kelanjutan dari narasi “pemimpin muda yang membumi.”
Namun, ini juga tidak lepas dari kemungkinan perhitungan. Di tengah kritik tajam terhadap elitisme politik, gestur sederhana bisa menjadi amunisi ampuh untuk membentuk citra pemimpin yang dekat dengan rakyat.
Saya teringat ucapan seorang dosen komunikasi politik saat diskusi di kampus UI: “Politik hari ini bukan soal argumen di mimbar, tapi soal narasi di layar kecil. Dan narasi itu dibentuk dari potongan gestur yang viral.”
Gibran, dengan kecerdasan medianya, mungkin sadar betul bahwa di era visual seperti sekarang, satu aksi kecil bisa mengalahkan satu jam pidato. Melepas sepatu bisa berarti melepaskan jarak. Bisa juga berarti menanamkan kesan tak terduga yang membuat publik bertanya.
Pro dan Kontra Warganet—Cermin Polarisasi yang Belum Selesai
Seperti biasa, aksi Gibran ini langsung jadi medan tempur komentar publik. Dalam satu unggahan media nasional, kolom komentar dibanjiri dua kubu yang saling menguatkan atau menyerang.
Di sisi pro:
-
“Gibran tetap merakyat, sederhana meski sudah jadi wapres.”
-
“Hormati tempat, lepas sepatu itu adab, bukan settingan.”
-
“Pemimpin muda yang tahu aturan tak tertulis di masyarakat.”
Di sisi kontra:
-
“Ngapain lepas sepatu di acara resmi? Gimik murahan.”
-
“Kalau semua pejabat lepas sepatu, bisa berantakan protokol.”
-
“Pencitraan ala seleb TikTok.”
Beberapa akun buzzer bahkan menjadikan video ini bahan meme dan parodi, memperparah polarisasi digital yang memang belum reda sejak pemilu.
Yang menarik, komentar terbanyak bukan soal substansi kebijakan atau peran Gibran sebagai wapres terpilih. Tapi justru pada tindakan kecil yang sangat visual. Ini mempertegas bahwa saat ini, publik lebih mudah terkoneksi lewat hal-hal simbolik—karena lebih mudah dikonsumsi dan diinterpretasi.
Kondisi ini bisa dimanfaatkan sekaligus jadi boomerang. Karena jika terlalu sering mengandalkan simbol tanpa substansi, maka krisis kepercayaan akan datang lebih cepat dari yang dibayangkan.
Dampak Jangka Panjang: Perlukah Kita Mewaspadai atau Meniru?
Pertanyaannya sekarang: Apa makna jangka panjang dari momen “Gibran lepas sepatu” ini bagi lanskap politik Indonesia?
1. Normalisasi Gaya Politik Simbolik
Aksi seperti ini bisa jadi membuka pintu bagi gaya politik yang lebih ekspresif, out of the box, dan visual. Ini bisa baik jika diiringi dengan substansi dan performa kerja. Tapi bisa juga berbahaya jika dijadikan alat pengalihan dari isu besar.
2. Ekspektasi Baru terhadap Pemimpin Muda
Publik akan menuntut pemimpin bukan hanya punya performa, tapi juga “cerita personal” yang relatable. Gaya, kepribadian, cara berjalan, bahkan cara tertawa bisa jadi indikator “kedekatan” pemimpin dengan rakyat.
3. Peran Media Sosial Semakin Sentral
Momen ini menegaskan bahwa kamera HP lebih kuat dari kamera debat. Aksi-aksi kecil yang terekam bisa jauh lebih berdampak dibanding satu pidato panjang.
4. Peningkatan Kesadaran Publik terhadap Simbol Politik
Bisa jadi, publik Indonesia akan semakin peka terhadap simbol-simbol kecil yang muncul dari para pejabat. Ini bisa memicu dialog yang lebih kritis dan sehat—asal tetap berbasis data, bukan asumsi.
Dalam percakapan dengan teman jurnalis senior, ia menyimpulkan begini: “Kadang, politik tidak butuh kata-kata besar. Cukup satu tindakan yang membuat orang berhenti scroll dan mulai berpikir.”
Dan Gibran tampaknya cukup paham soal itu.
Penutup: Bukan Sekadar Sepatu, Tapi Soal Langkah Politik yang Disorot
Di tengah lanskap politik yang makin kompleks dan padat oleh wacana, satu aksi kecil bisa jadi highlight besar. Gibran yang melepas sepatu di acara resmi bukan cuma sedang membuka alas kaki—ia sedang membuka ruang tafsir.
Apakah ini kesederhanaan tulus atau gesture politik yang cermat? Mungkin kita tidak akan pernah tahu dengan pasti. Tapi satu hal yang jelas: publik melihat, mencatat, dan mengingat.
Sebagai jurnalis, saya percaya bahwa setiap aksi, sekecil apa pun, punya cerita di baliknya. Dan di zaman di mana visual adalah segalanya, cerita itu akan terus bergema jauh lebih lama dibanding peristiwa itu sendiri.
Jadi, lain kali jika ada pemimpin yang membuka sepatunya sebelum naik podium, jangan buru-buru menilai. Bisa jadi itu lebih dari sekadar kenyamanan kaki—tapi kenyamanan narasi politik yang sedang disusun dengan sangat hati-hati.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal
Baca Juga Artikel Dari: Azizah Laporkan Bigmo atas Dugaan Pencemaran Nama Baik!