Titiek Puspa Meninggal: Pesan Gerimis di Langit Musik Indonesia

Waktu saya dengar kabar itu, saya sedang membuka media sosial seperti biasa, hanya ingin scroll-scroll ringan. Tapi begitu mata saya menangkap headline: “Titiek Puspa Meninggal Dunia di Usia 87 Tahun”, saya langsung terdiam. Rasanya seperti gerimis kecil yang jatuh tanpa permisi di dada saya. Bukan karena saya kenal beliau secara pribadi, tentu saja tidak. Tapi karena saya tumbuh besar dengan suara dan pengaruhnya, terutama lewat lagu “Kupu-Kupu Malam” yang dulu sering diputar ibu saya saat sore hari.
Titiek Puspa bukan sekadar penyanyi. Beliau adalah pelukis jiwa dalam bentuk nada. Dan kepergiannya, buat saya, bukan cuma kehilangan seorang musisi senior—ini seperti kehilangan satu bab dalam sejarah seni dan budaya bangsa.
Siapa Titiek Puspa? Sebelum Kita Bicara tentang Kepergiannya
Sumber gambar: New Straits Times
Sebelum bicara lebih jauh tentang kepergiannya, kita harus sepakat dulu satu hal: Titiek Puspa itu bukan sembarang penyanyi.
Lahir dengan nama Sudarwati di Tanjung, Kalimantan Selatan, tahun 1937, beliau kemudian dikenal juga dengan nama asli Kadarwati sebelum akhirnya menetap dengan nama panggung Titiek Puspa. Karier musiknya dimulai sejak era 1950-an, saat Indonesia masih membangun identitas kulturalnya.
Saya sendiri baru menyadari luasnya pengaruh beliau waktu melihat daftar karya ciptaannya. Bukan cuma menyanyi, beliau juga menulis lagu, menjadi juri, aktris, bahkan penulis. Bahkan pada masa-masa beliau sakit, beliau tetap aktif menciptakan lagu—bahkan pernah bikin lagu saat dirawat karena kanker serviks. Itu bukan hanya soal semangat hidup, tapi juga soal dedikasi total pada seni.
Lagu yang Membentuk Generasi
Ada banyak musisi legendaris di negeri ini, tapi tidak semua mampu menyentuh hati lintas generasi. Titiek Puspa bisa.
Saya pribadi punya kenangan emosional dengan lagu “Bing”. Lagu ini beliau ciptakan setelah kehilangan sahabatnya, Bing Slamet. Melodinya sederhana, tapi liriknya dalam, penuh rasa kehilangan yang tak dibuat-buat.
Begitu juga dengan “Kupu-Kupu Malam”. Lagu ini bercerita tentang kehidupan perempuan malam, tapi bukan dengan nada menghina—justru mengangkat rasa simpati dan kemanusiaan. Jarang sekali ada lagu dari era itu yang bisa begitu berani tapi tetap puitis.
Lagu-lagu beliau sering jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat—diputar di radio, jadi soundtrack sinetron, bahkan dinyanyikan di acara keluarga. Dan saya yakin, hampir setiap orang Indonesia pasti pernah mendengar, minimal satu lagu beliau, entah sadar atau tidak.
Saat Kabar Itu Datang
Titiek Puspa mengembuskan napas terakhirnya pada 14 April 2024 di RS Medistra, Jakarta, akibat komplikasi setelah mengalami pendarahan otak. Usia beliau 87 tahun.
Saya tahu usia segitu memang sudah tergolong tua, dan mungkin secara logika kita bisa bilang “ya sudah waktunya.” Tapi logika itu kalah oleh rasa kehilangan. Karena kita tidak hanya kehilangan orang, kita kehilangan energi. Kehilangan warna.
Duka saya makin dalam saat melihat para musisi muda, penyanyi, penulis lagu, bahkan aktor dan aktris menyampaikan belasungkawa. Banyak yang bilang, tanpa beliau, industri musik Indonesia mungkin tidak akan sebesar sekarang.
Dan saya setuju. Beliau bukan hanya pelaku sejarah, tapi juga fondasi dari banyak talenta yang lahir kemudian.
Perjalanan Hidup yang Penuh Ujian
Satu hal yang bikin saya semakin respek: hidup Titiek Puspa bukan tanpa cobaan.
Beliau pernah divonis kanker serviks dan menjalani pengobatan yang panjang. Tapi yang mengejutkan adalah bagaimana beliau tetap produktif dan bahkan membuat karya baru saat sakit. Banyak orang menyerah pada sakit, tapi beliau justru mengolah rasa sakit menjadi lagu.
Saya baca salah satu wawancaranya, beliau bilang: “Saya minta sama Tuhan, jangan diambil dulu, saya belum selesai berkarya.” Dan Tuhan mendengar.
Kita jarang melihat seseorang yang begitu bersyukur, bahkan saat diuji. Tapi itu yang membuat beliau bukan hanya legenda dalam musik, tapi juga inspirasi hidup.
Pengaruh Titiek Puspa pada Musik dan Budaya Pop
Dampak Titiek Puspa tidak hanya terasa di ranah musik lokal. Beliau juga punya pengaruh besar dalam membentuk budaya pop Indonesia.
Beliau dikenal punya gaya yang khas—gaya rambut yang bold, cara berpakaian yang berani tapi elegan, dan suara yang langsung dikenali. Karakternya kuat, tapi tetap hangat. Sosok seperti ini langka, apalagi di dunia hiburan.
Ia pernah jadi juri di berbagai acara TV, termasuk ajang pencarian bakat. Di sana, kita lihat betapa tajam dan bijaknya beliau memberi kritik. Tegas, tapi nggak menjatuhkan. Selalu dengan senyum dan gaya khasnya.
Itulah mengapa generasi muda pun bisa merasa dekat, meski beda zaman.
Warisan Tak Tertulis: Etika dan Karya
Saya belajar dari beliau bahwa warisan seseorang bukan cuma karya yang ditinggalkan, tapi juga bagaimana dia menjalani hidupnya.
Titiek Puspa selalu dikenal rendah hati. Dalam berbagai wawancara, tidak pernah saya temukan satu pun komentar negatif tentang kepribadiannya. Bahkan di kalangan media, beliau dianggap “mudah diajak bicara, tak pernah menolak wawancara, dan selalu menghargai waktu”.
Ini pelajaran penting di zaman sekarang. Bahwa jadi besar tidak harus menyombongkan diri. Bahwa jadi legenda bukan alasan untuk lupa daratan. Dan beliau menunjukkan itu sampai akhir hayat.
Perempuan dalam Dunia Musik: Jalan Terjal yang Titiek Puspa Buka
Saya sering berpikir, bagaimana rasanya jadi penyanyi perempuan di era 50-an dan 60-an, saat patriarki masih kental dan suara perempuan belum banyak didengar?
Titiek Puspa melewatinya.
Beliau tidak hanya berhasil menembus batas gender di dunia musik, tapi juga menjadi pemimpin. Bahkan menurut yang saya baca di Wikipedia, ia pernah dipercaya sebagai ketua umum ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia). Di situ beliau bukan cuma penyanyi, tapi pengambil kebijakan, pembuka jalan.
Itu sebabnya banyak penyanyi perempuan senior seperti Vina Panduwinata, Ruth Sahanaya, hingga Yura Yunita menyebut beliau sebagai “ibu dalam musik Indonesia.”
Dan saya pikir, itu bukan pujian kosong. Karena keberanian beliau di masa lalu, hari ini kita bisa melihat panggung yang lebih setara untuk semua gender.
Upacara Perpisahan dan Riuh Doa
Pemakaman Titiek Puspa berlangsung dengan khidmat, dihadiri banyak tokoh seni, pejabat negara, dan tentunya keluarga besar. Tapi yang paling menyentuh buat saya adalah kiriman video dari penyanyi-penyanyi muda yang meng-cover lagu-lagunya.
Ada yang menyanyikan ulang “Bing” dengan iringan piano, ada yang membacakan puisi tentang kenangan masa kecilnya mendengar lagu-lagu beliau. Rasanya hangat. Dan sekaligus bikin mata saya berkaca-kaca.
Beberapa stasiun TV juga menayangkan ulang penampilan-penampilan beliau, termasuk segmen terakhir saat tampil di Lapor Pak Trans7 yang ternyata menjadi penampilan publik terakhirnya. Wajah beliau tetap ceria, tetap menyanyi dengan sepenuh hati. Seolah tidak ada yang berubah.
Dan mungkin itu pesan terbesar beliau: tetap bernyanyi meski langit sedang gerimis.
Kenapa Kita Harus Terus Mengenang Titiek Puspa?
Saya percaya bahwa mengenang bukan berarti larut dalam duka. Mengenang adalah bentuk penghormatan. Dan dengan mengenang, kita bisa belajar.
Dari Titiek Puspa, kita belajar bahwa:
-
Musik adalah bahasa universal yang melintasi generasi
-
Kreativitas tidak pernah pensiun
-
Ketulusan dalam berkarya lebih penting dari popularitas
-
Seni bisa menyembuhkan, menghibur, dan mendidik
Dan kalau generasi kita tidak mengenangnya, maka siapa lagi? Jangan sampai nama sebesar ini hanya jadi catatan kaki dalam buku sejarah. Harusnya jadi lampu, jadi inspirasi.
Untuk Generasi Muda: Apa yang Bisa Kita Warisi?
Buat kamu yang masih muda dan baru mulai meniti jalan di dunia seni, ingatlah bahwa jalan yang kamu lewati hari ini sebagian besar sudah dirintis oleh mereka yang datang sebelum kita.
Titiek Puspa adalah bukti bahwa untuk jadi abadi, kamu tidak harus viral. Yang kamu butuhkan adalah integritas, konsistensi, dan cinta pada karya.
Jangan buru-buru ingin terkenal. Buru-burulah jadi berarti. Seperti beliau.
Kejadian awal mula kenaikan pendukung dari: Donald Trump Ditembak: Fakta, Motif, dan Reaksinya