May 11, 2025

INCA BERITA

Berita Terkini Seputar Peristiwa Penting di Indonesia dan Dunia

Mencuri Bawang, Dikeroyok: Ketika Kemanusiaan Dikalahkan

Mencuri Bawang, di sebuah pasar tradisional yang masih basah oleh air cuci sayuran, seorang nenek tua—berkerudung lusuh, sandal jepit compang-camping—dikerubungi. Bukan oleh cucunya, bukan juga oleh pedagang lain yang hendak membantu, tapi oleh kerumunan warga yang memaki, mendorong, dan sebagian… menampar.

Alasannya? Sederhana. Ia dituduh mencuri bawang. Satu genggam kecil, yang bahkan belum tentu bernilai lima ribu rupiah.

Kejadian ini viral. Videonya menyebar di TikTok, Twitter, dan grup WhatsApp. Komentar mengalir deras—sebagian marah karena main hakim sendiri, sebagian lagi malah menyalahkan si nenek.

Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas.

Artikel ini bukan sekadar membahas kejadian tragis tersebut. Tapi juga mengajak kita menelusuri: kenapa kejadian seperti ini bisa terjadi? Apa yang ada di balik aksi main hakim sendiri? Dan apakah benar, mencuri bawang layak dibayar dengan kekerasan?

Ketika Kemiskinan Tak Lagi Diberi Ruang untuk Dihargai

Image Source: Media.suara.com

Mencuri adalah tindakan kriminal, iya. Tapi konteks sosial tak bisa dikesampingkan.

Menurut data BPS, lebih dari 25 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan per Maret 2024. Itu artinya, setiap hari, ada jutaan orang yang harus memilih antara makan siang atau biaya ongkos sekolah cucunya. Termasuk, mungkin, sang nenek dalam video itu.

Bawang merah, meskipun tampak sepele, kini jadi salah satu komoditas yang harganya fluktuatif. Di beberapa wilayah, harganya bisa tembus Rp 50.000/kg. Jadi ketika seseorang mengambil segenggam kecil bawang tanpa bayar, mungkin itu adalah jeritan sunyi seseorang yang kehabisan pilihan.

Di titik ini, kita tak sedang membela pencurian. Tapi mengajak berpikir: apakah kemiskinan pantas dibalas dengan kekerasan?

Anekdot dari Bu Rukiyah, seorang relawan dapur umum di kawasan Johar Baru, Jakarta, bisa jadi pengingat. “Kadang ada ibu-ibu datang cuma minta kulit bawang atau sisa tomat. Bukan karena mau boros. Tapi karena udah nggak punya uang sama sekali. Dan mereka tetap malu. Masih punya rasa harga diri.”

Fenomena Main Hakim Sendiri – Dari Geram Jadi Kejam

Satu hal yang bikin hati mencelos saat nonton video itu adalah… ekspresi orang-orang yang mengeroyok. Ada yang tampak puas. Ada yang merekam dengan senyum.

Kenapa seseorang bisa tega?

Fenomena main hakim sendiri bukan hal baru di Indonesia. Bahkan menurut KontraS, pada tahun 2023 ada lebih dari 200 kasus penganiayaan terhadap tersangka pelaku kejahatan ringan, termasuk pencurian kecil-kecilan.

Motifnya? Beragam.

  • Rasa frustasi karena hukum dianggap lambat dan tak adil.

  • Impuls emosional karena ikut kerumunan (fenomena crowd psychology).

  • Hasrat primitif untuk “menghukum langsung”.

Tapi kita perlu jujur: sering kali, tindakan ini lahir dari kekuasaan semu atas orang yang lebih lemah.

Nenek itu, dalam kondisinya yang renta, lemah, dan tak mampu membela diri, menjadi sasaran empuk. Bahkan jika benar ia mencuri, prosedur hukum seharusnya tetap berlaku.

Sebaliknya, saat kasus pencurian skala besar oleh elite muncul, masyarakat justru cenderung diam. Ironis? Banget.

Dampak Psikologis dan Sosial yang Tak Terlihat

Bayangkan kamu adalah cucu dari nenek yang dikeroyok itu.

Bagaimana rasanya menonton video nenekmu dipukul karena dituduh mencuri?

Rasa trauma, malu, dan kemarahan bercampur jadi satu. Dan jangan salah, trauma antargenerasi itu nyata. Sebuah tindakan kekerasan yang terekam dan viral bisa meninggalkan luka psikologis yang dalam, tak hanya bagi korban langsung.

Penelitian dari Lembaga Psikologi Sosial UI menunjukkan bahwa korban kekerasan sosial (baik fisik maupun verbal) berisiko tinggi mengalami PTSD, isolasi sosial, dan depresi. Jika tidak didampingi, korban bisa merasa kehilangan martabat dan identitas.

Yang lebih mengerikan: masyarakat seakan sudah kebal.

Kita menonton, mengomentari, lalu lanjut scroll ke video berikutnya. Empati menjadi dangkal. Kekerasan jadi tontonan. Bahkan beberapa akun menjadikannya bahan parodi.

Kalau kita tidak berhenti dan bertanya, “Apakah ini manusiawi?”, maka kita semua sedang berjalan di tepi jurang keacuhan massal.

Hukum, Keadilan, dan Siapa yang Punya Suara

Hukum itu bukan sekadar pasal-pasal. Tapi bagaimana ia melindungi, terutama yang paling lemah.

Dalam kasus mencuri bawang ini, jika aparat hadir lebih cepat, atau masyarakat lebih tenang, bisa saja nenek itu dibawa ke kantor polisi, diperiksa, diberi kesempatan untuk menjelaskan. Bahkan, mungkin dia bisa dibantu.

Pasal 362 KUHP memang menyatakan bahwa pencurian adalah tindak pidana. Tapi Pasal 14 ayat 1 Undang-undang Perlindungan Lansia juga menyatakan: “Lansia berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif.”

Nah, bagaimana dua pasal ini bisa berdampingan? Di sinilah peran pendekatan restorative justice—keadilan yang mengedepankan pemulihan, bukan semata hukuman.

Dalam beberapa daerah, sudah mulai diterapkan proses mediasi antara pelaku dan korban untuk kasus ringan. Bahkan ada program “Warung Sedekah” di Semarang yang dibuat khusus agar orang miskin tidak lagi mencuri karena lapar.

Keadilan tidak harus selalu berarti penjara. Kadang, keadilan bisa dimulai dari pendengaran.

Dari Kasus Ini, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Setelah marah, setelah kecewa, setelah menangis… pertanyaan selanjutnya: lalu kita harus bagaimana?

1. Edukasi dan Sensitivitas Sosial

Sekolah dan komunitas bisa mengangkat kasus seperti ini sebagai diskusi terbuka. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk menanamkan nilai empati dan kesadaran hukum sejak dini.

2. Aktivasi Program Bantuan Komunitas

Daripada ramai menghakimi, lebih baik kita ramai menyebarkan gerakan solidaritas. Misalnya: warung gratis, dapur umum komunitas, atau bank makanan berbasis RT/RW.

3. Laporkan, Bukan Hakimi

Kalau melihat dugaan pencurian kecil, segera lapor ke pihak keamanan setempat. Jangan ambil alih sebagai “pahlawan moral”. Kita bukan penegak hukum. Kita warga sipil.

4. Kritisi, Tapi Jangan Persekusi

Kalau merasa sistem hukum lemah, kita bisa suarakan lewat kanal resmi, media, atau petisi. Tapi jangan melampiaskan ke orang yang bahkan tak mampu membela diri.

5. Rawat Empati

Saat ada orang tua yang tertangkap mencuri, tanya dulu: kenapa? Mungkin yang dia butuhkan bukan polisi—tapi makanan, atau teman bicara.

Penutup: Nenek Itu Bisa Jadi Ibu Kita, Besok Lusa

Di akhir hari, kasus nenek yang dikeroyok karena diduga mencuri bawang ini bukan hanya soal hukum, tapi soal wajah masyarakat kita.

Apa kita sudah terlalu sibuk membela “nilai” hingga lupa membela manusia?

Apa kita terlalu sering teriak “tegas!” sampai lupa bahwa belas kasih adalah bentuk kekuatan yang lebih mendalam?

Karena di balik segenggam bawang yang katanya dicuri itu, ada kisah kemiskinan, ketimpangan, dan kegagalan kita sebagai komunitas untuk saling menjaga.

Dan siapa tahu, suatu hari nanti, saat kita tua dan rapuh, kita pun berharap… dunia masih punya ruang untuk mengerti.

Baca Juga Artikel dari: Tunda Danantara: Strategi Pembenahan BUMN atau Sinyal Alarm

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal

Author