BPS Ubah Kemiskinan: Turunnya Kemiskinan dan Pengangguran
Jakarta, incaberita.co.id – Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru soal kondisi sosial ekonomi Indonesia. Judul utamanya cukup menggugah: BPS Ubah Kemiskinan dan pengangguran turun. Sekilas, berita ini terdengar seperti kabar baik yang bisa langsung kita rayakan. Namun, benarkah situasinya seindah itu?
Yang menarik, BPS tidak hanya menyampaikan data penurunan, tapi juga melakukan pembaruan dalam metode pengukuran kemiskinan. Inilah yang kemudian membuat diskusi berkembang: ketika cara ukur berubah, apakah perubahannya benar-benar mencerminkan kenyataan atau hanya pembenahan statistik?
Dalam laporannya, BPS menjelaskan bahwa pendekatan baru mempertimbangkan faktor-faktor seperti garis kemiskinan yang lebih kompleks, kebutuhan makanan dan non-makanan, serta relevansi dengan standar kesejahteraan terkini. Perubahan ini dilakukan agar data lebih representatif terhadap kondisi nyata masyarakat. Artinya, bukan hanya soal siapa yang bisa makan nasi tiga kali sehari, tapi juga siapa yang punya akses ke sanitasi, listrik, pendidikan dasar, hingga informasi publik.
Namun, inilah bagian yang memantik banyak perdebatan. Apakah data baru ini menandakan rakyat semakin sejahtera, atau sekadar penyesuaian metodologis yang mengaburkan realita?
Menyigi Penurunan Kemiskinan – Progres atau Ilusi Statistik?

Image Source: Liputan6.com
Menurut data BPS terbaru, tingkat kemiskinan nasional turun menjadi 9,03% pada Maret 2025, angka terendah dalam satu dekade terakhir. Bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, angka ini menurun dari 9,36%. Penurunan ini juga terjadi di sebagian besar provinsi, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan.
Tapi angka hanyalah permukaan. Mari gali lebih dalam.
Misalnya, di satu desa di Jawa Tengah, ada seorang penjual cilok keliling bernama Pak Bowo yang penghasilannya bertambah dari Rp25 ribu menjadi Rp35 ribu per hari. Secara teori, dia mungkin keluar dari garis kemiskinan menurut definisi BPS yang baru. Tapi apakah itu berarti hidupnya jadi lebih baik? Belum tentu. Ia masih tinggal di rumah semi-permanen, belum punya akses air bersih layak, dan harus menanggung biaya sekolah anaknya yang terus naik.
BPS mengakui bahwa ubahan indikator kemiskinan bertujuan menyelaraskan pengukuran dengan standar internasional. Salah satunya mengacu pada metodologi Bank Dunia, yang memperhatikan bukan hanya makanan pokok, tetapi juga faktor akses dan keterjangkauan kebutuhan dasar.
Namun, banyak ekonom berpendapat bahwa perlu waktu agar metode ini bisa diuji dampaknya secara menyeluruh. Kalau tidak hati-hati, kita bisa tergelincir pada narasi “angka yang indah” tapi dengan pondasi realita yang rapuh.
Pengangguran Menurun – Apa yang Terjadi di Lapangan?
Selain soal kemiskinan, kabar gembira lain dari BPS adalah tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang juga menurun. Pada Maret 2025, TPT berada di angka 5,18%, turun dari 5,45% pada periode yang sama tahun lalu. Sekilas ini menunjukkan pemulihan ekonomi pasca-pandemi berjalan cukup baik.
Namun, mari kita bedah realitas di balik data itu.
Penurunan pengangguran tidak selalu berarti masyarakat telah mendapat pekerjaan layak. Dalam banyak kasus, pekerjaan yang tersedia adalah kerja informal tanpa jaminan sosial, seperti ojol, reseller online, atau buruh lepas harian. Ini yang disebut sebagai underemployment—orang bekerja, tapi tak cukup mendapatkan penghasilan yang layak atau perlindungan kerja.
Contoh nyata datang dari Lela, seorang sarjana teknik dari Makassar yang kini bekerja sebagai admin freelance dengan gaji Rp1,2 juta sebulan. Secara statistik, ia tidak lagi menganggur. Tapi apakah itu mencerminkan penghidupan yang layak bagi lulusan perguruan tinggi?
Di sinilah pentingnya membaca data secara kritis. Statistik memang penting, tapi jangan sampai mengaburkan kenyataan bahwa sebagian besar pekerjaan baru yang tercipta masih berada di sektor informal dan tidak stabil.
Dampak Langsung Kebijakan – Apakah Pemerintah Berhasil?
Satu hal yang patut diapresiasi adalah peran sejumlah kebijakan sosial dalam menekan angka kemiskinan. Pemerintah mengklaim bahwa bantuan sosial (bansos), program padat karya, serta dorongan terhadap UMKM telah memberi kontribusi signifikan terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Program seperti Kartu Prakerja, misalnya, menjadi jembatan bagi banyak pekerja yang terkena PHK untuk mendapatkan pelatihan dan modal usaha. Tapi lagi-lagi, pertanyaannya bukan hanya “berapa orang yang terbantu?” melainkan “seberapa lama dampak bantuan itu bertahan?”
Fakta menarik: meskipun bansos sangat membantu dalam situasi darurat, sebagian besar penerima tidak langsung naik kelas ekonomi. Artinya, program bantuan itu lebih bersifat penyelamat sementara, bukan solusi jangka panjang untuk memutus rantai kemiskinan struktural.
Hal ini diperparah dengan tantangan klasik seperti distribusi bansos yang tidak merata, data penerima yang tidak akurat, hingga kendala transparansi. Dalam beberapa laporan investigasi media nasional, ditemukan masih ada praktik penyelewengan atau ketimpangan dalam distribusi manfaat program.
Narasi, Persepsi, dan Apa yang Bisa Kita Lakukan
Di tengah kabar gembira soal turunnya angka kemiskinan dan pengangguran, kita juga dihadapkan pada dilema yang lebih dalam: bagaimana membangun narasi statistik yang jujur namun tetap penuh harapan?
BPS memang mengubah metodologi agar lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Tapi di sisi lain, perubahan itu perlu dikomunikasikan dengan jernih kepada publik. Jangan sampai publik mengira bahwa kehidupan masyarakat sudah membaik hanya karena angka statistik memperlihatkan begitu.
Penting juga bagi media dan pembuat kebijakan untuk tidak menjadikan statistik sebagai panggung politik, melainkan sebagai alat refleksi dan evaluasi. Realitas kemiskinan itu kompleks, tidak bisa direduksi hanya ke dalam angka desimal.
Bagi kita sebagai warga, penting untuk lebih kritis membaca data. Bukan berarti kita sinis atau anti-pemerintah, tapi lebih ke sikap dewasa dalam menilai kemajuan. Kita bisa bersyukur atas pencapaian, tapi juga terus menuntut perbaikan sistemik.
Dan untuk kamu yang merasa hidup belum berubah walaupun data berkata lain, percayalah: bukan kamu yang salah. Kadang statistik memang belum cukup mencerminkan seluruh cerita.
Penutup: Di Balik Angka, Ada Manusia
Ketika BPS ubah kemiskinan dalam definisi dan metodenya, itu adalah langkah maju dalam penyempurnaan statistik. Tapi tetap harus diiringi dengan kesadaran bahwa setiap angka adalah representasi dari nyawa, perjuangan, dan harapan manusia.
Angka bisa turun, tapi selama masih ada keluarga yang kesulitan makan tiga kali sehari, atau lulusan sarjana yang tidak punya akses pekerjaan layak, maka pekerjaan kita belum selesai.
Jadi, mari sambut kabar ini dengan optimisme yang cerdas: kita perlu akui capaian, tapi jangan sampai lupa untuk terus memperjuangkan keadilan sosial yang sesungguhnya.
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal
Baca Juga Artikel dari: Eks Dirut ASDP Bantah Gratifikasi, Beri Emas Bentuk Simpati
