May 4, 2025

INCA BERITA

Berita Terkini Seputar Peristiwa Penting di Indonesia dan Dunia

Nana Mirdad Diteror Penagih PayLater: Pintu Masuk Data Digital

“Saya tidak pernah pakai PayLater. Tapi saya diteror.” – Nana Mirdad

Nana Mirdad, bayangkan kamu lagi rebahan setelah seharian kerja, scroll medsos sambil ngeteh, tiba-tiba ada DM masuk: “Segera lunasi utang Anda!” Padahal kamu bahkan nggak pernah pakai layanan pinjaman digital. Gimana rasanya?

Itulah yang dialami aktris dan influencer Nana Mirdad, baru-baru ini. Lewat unggahan Instagram Stories-nya yang viral, Nana curhat: dirinya diteror debt collector dari aplikasi PayLater yang bahkan tak pernah ia gunakan. Lebih parah, si penagih membawa nama keluarga dan menyebar intimidasi seolah-olah ia peminjam yang mangkir bayar.

“Saya tidak pernah pakai PayLater. Tidak pernah pinjam uang online. Tapi saya diteror. Parahnya, keluarga saya juga kena. Ini sudah di luar batas,” tulis Nana dengan nada tegas.

Postingan itu langsung meledak. Publik kaget, karena selama ini kasus begini dianggap cuma menimpa “orang biasa”. Tapi saat sosok sekelas Nana yang notabene publik figur jadi korban, masyarakat mulai sadar: penyalahgunaan data digital bisa menimpa siapa saja.

Tak butuh waktu lama, keyword “Nana Mirdad” jadi trending di Twitter dan muncul di Google Trends. Tapi di balik semua itu, pertanyaan besar mulai muncul: kok bisa data pribadi selebriti bisa “nyasar” ke sistem penagihan? Apakah ini murni kesalahan teknis? Atau ada sistem yang bocor dari dalam?

Di Balik Layar PayLater—Kenapa Data Kita Bisa Bocor ke Mana-Mana

Image Source: tstatic.net

Sebelum kita lompat ke teori konspirasi, mari lihat realitanya. Saat kamu daftar di layanan PayLater, pinjol, atau e-commerce, biasanya kamu diminta:

  • Nama lengkap

  • Nomor KTP

  • Kontak darurat (biasanya keluarga)

  • Akses ke kontak dan galeri (sering terjadi diam-diam saat unduh aplikasi)

Nah, di sinilah masalah bermula.

Menurut laporan SAFEnet dan LBH Jakarta, banyak aplikasi keuangan digital mengambil data kontak pengguna tanpa izin eksplisit, lalu menggunakannya sebagai “alat teror” jika pengguna telat bayar. Praktik ini bahkan sudah jadi hal biasa dalam industri pinjol ilegal.

Tapi ironisnya? Tak semua orang yang jadi korban adalah peminjam. Seperti kasus Nana Mirdad, besar kemungkinan nomor atau kontaknya dimasukkan sebagai “kontak darurat” oleh orang lain. Bisa teman, fans, bahkan pihak yang sengaja iseng atau menyalahgunakan.

Anehnya, banyak aplikasi PayLater tidak melakukan verifikasi ketat terhadap data kontak darurat. Akibatnya, siapapun bisa dimasukkan ke sistem. Begitu peminjam gagal bayar, semua yang ada di daftar kontak “dimainkan” sebagai alat tekanan psikologis.

Ini bukan cerita baru.

  • 2022: Seorang jurnalis senior juga dihubungi karena namanya dipakai temannya untuk daftar pinjaman.

  • 2023: Mahasiswa asal Surabaya melapor karena foto pacarnya disebar oleh debt collector, padahal sang pacar hanya jadi kontak darurat.

Kasus-kasus seperti ini menunjukkan: kebocoran data bukan sekadar risiko, tapi sudah jadi rutinitas.

Dunia Gelap Debt Collector Digital—Dari Intimidasi sampai Doxxing

Kalau kamu pikir debt collector zaman sekarang cuma telepon doang, kamu keliru besar. Mereka kini menggabungkan psikologi tekanan + teknologi digital.

Pola Umum Teror Digital:

  1. Chat Terus-Menerus di WhatsApp, Telegram, hingga DM IG

  2. Menyebar pesan ke semua kontak korban

  3. Menggunakan bahasa kasar, ancaman, dan foto korban

  4. Mengedit foto menjadi meme menyudutkan, lalu dikirim massal

Kasus Nana Mirdad memperlihatkan bagaimana debt collector bisa mengakses jaringan kontak yang seharusnya bersifat pribadi. Meski belum diketahui secara pasti dari mana mereka mendapatkan nomor Nana, tapi pola ini mirip dengan apa yang dialami ribuan korban lain.

Dan efeknya?

  • Gangguan psikologis

  • Rasa malu di lingkungan sosial

  • Terpecahnya hubungan keluarga/teman

  • Bahkan beberapa korban mengalami depresi berat

Bahkan ada yang lebih ekstrem. LBH Jakarta pernah menangani korban yang bunuh diri karena malu difitnah sebagai peminjam nakal, padahal ia bukan pengguna layanan tersebut.

“Selama sistem pinjaman digital masih mengandalkan data kontak sebagai jaminan sosial, maka pelecehan ini akan terus terjadi,” ujar Nenden S, aktivis perlindungan data digital.

Fenomena PayLater dan Kebiasaan Digital Masyarakat—Siapa yang Salah?

Image Source: Kalbaronline.com

Mari kita akui: PayLater memang memudahkan. Bisa beli barang tanpa bayar penuh di awal, bahkan tanpa kartu kredit. Tapi di balik kemudahan itu, ada jebakan sistemik.

Menurut riset Katadata Insight Center, lebih dari 62% pengguna PayLater adalah usia 20–35 tahun, mayoritas tidak membaca syarat & ketentuan sebelum menyetujui akses data.

“Gue kira cuma buat beli tiket konser, eh malah dikejar-kejar utang,” kata seorang pengguna yang akhirnya harus jual HP demi melunasi tagihan.

Sementara itu, perusahaan penyedia layanan PayLater berlomba meningkatkan akuisisi. Mereka saling adu agresif menawarkan limit besar tanpa analisis kredit yang matang.

Kombinasi ini menciptakan bom waktu:

  • Pemuda digital-savvy yang terlalu percaya diri

  • Perusahaan yang terlalu longgar soal privasi

  • Regulasi yang tertinggal dari kecepatan teknologi

Ditambah lagi, banyak dari kita sering asal klik “Setuju” tanpa tahu aplikasi itu bisa mengakses semua kontak kita. Bahkan aplikasi cuaca dan kalkulator palsu di Play Store bisa mencuri data, lalu dijual ke pihak ketiga.

Jadi, siapa yang salah?

Semua pihak punya andil. Tapi yang paling berbahaya adalah sistem yang membiarkan penyalahgunaan itu terus terjadi—dengan dalih efisiensi atau kepentingan bisnis.

Saatnya Bangun Kesadaran Digital—Dari Nana Mirdad untuk Kita Semua

Kasus Nana Mirdad adalah alarm keras bagi semua pihak—terutama generasi yang hidup di tengah ledakan fintech.

Di satu sisi, kita memang butuh teknologi yang mempermudah hidup. Tapi kalau itu datang dengan risiko harga diri dan keamanan digital kita dijual ke algoritma penagih utang? Maka kita harus berkata: cukup.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

1. Periksa Izin Aplikasi Sebelum Instal
Gunakan fitur “Permission Manager” di smartphone untuk membatasi akses kontak, galeri, dll.

2. Jangan Asal Masukkan Kontak Darurat
Pastikan orang yang kamu masukkan sebagai referensi sadar dan setuju. Jangan jadi sumber teror bagi orang lain.

3. Edukasi Orang Tua dan Teman
Banyak orang tua kita yang tidak paham risiko data digital. Dampingi mereka saat unduh aplikasi keuangan.

4. Dukung RUU Perlindungan Data Pribadi
RUU PDP yang sempat disahkan 2022 harus didorong implementasinya secara tegas. Jangan biarkan hanya jadi simbol hukum.

5. Laporkan Kasus Penyalahgunaan
Kamu bisa lapor ke OJK, Kominfo, atau Lembaga Bantuan Hukum jika mengalami atau melihat penyalahgunaan.

Dan untuk perusahaan fintech? Saatnya lebih peduli pada etika dan perlindungan data pengguna. Jangan hanya fokus pada jumlah pinjaman yang cair—tapi juga pada keamanan dan martabat digital konsumennya.

Nana Mirdad, Kita, dan Dunia Digital yang Harus Lebih Manusiawi

Nana Mirdad memang bukan satu-satunya korban. Tapi ia jadi suara penting—yang didengar publik—tentang bahaya penyalahgunaan data digital di era PayLater dan pinjol.

Kalau selebriti sekelas Nana saja bisa diteror, apalagi kita yang datanya lebih gampang diakses?

Saat ini bukan cuma soal bayar tagihan tepat waktu. Tapi soal menyadari bahwa data adalah aset, dan kita harus mulai memperlakukannya seperti itu. Jangan tunggu diteror dulu baru sadar.

Karena di era digital, kita bukan cuma pengguna layanan—tapi juga target.

Baca Juga Artikel dari: Penembakan di Thailand: Mengungkap Penyebab di Balik Kekerasan di Tak Bai

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Lokal

Author